Ajaran
Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang
hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut.
Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai
kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut
sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya.
Sebagai
konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini tidak dapat dikenai hukum yang
bersifat keduniawian, misalnya hukum negara, tetapi tidak termasuk hukum
syariat peribadatan sebagaimana yang ditentukan oleh syariah. Menurut ulama
pada masa itu yang memahami inti ajaran Syekh Siti Jenar, manusia di dunia ini
tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, Sholat, puasa,
zakat, dan haji. Baginya, syariah baru akan berlaku setelah manusia menjalani
kehidupan pasca kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada
dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh
para ulama pada masa itu, mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang
dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam, kira-kira pada abad ke-9
Masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia.
Dimana
seharusnya pemahaman ketauhidan melewati empat tahap, yaitu:
Syariat,
dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti salat, zakat, dan lain-lain,
Tarekat,
dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan
tertentu,
Hakekat,
di mana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan, dan
Makrifat,
kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.
Bukan
berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut, maka tahapan di
bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para
ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti
Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami ratusan tahun setelah wafatnya Syekh Siti
Jenar. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran
yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam di mana pada masa
itu, ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya masih pada tingkatan
syariat, sedangkan ajaran Syekh Siti Jenar telah jauh memasuki tahap hakekat,
bahkan makrifat kepada Allah. Oleh karena itu, ajaran yang disampaikan oleh Syekh
Siti Jenar dikatakan sesat.
Syekh
Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip
ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga
atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa
Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari
Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya,
melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan
kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti
bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan
sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia:[2]
“ Ketika
Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan
manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya roh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadanya." Q.S. Shaad: 71-72 ”
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial
terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta
tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan
manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut
umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki
dan abadi olehnya.
Sebagai konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini
tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian, misalnya hukum negara, tetapi
tidak termasuk hukum syariat peribadatan sebagaimana yang ditentukan oleh
syariah. Menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Syekh Siti
Jenar, manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu
syahadat, Sholat, puasa, zakat, dan haji. Baginya, syariah baru akan berlaku
setelah manusia menjalani kehidupan pasca kematian. Syekh Siti Jenar juga
berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman
inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu, mirip dengan konsep
Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan
Islam, kira-kira pada abad ke-9 Masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan
kesamaan sifat Tuhan dan manusia. Dimana seharusnya pemahaman ketauhidan melewati
empat tahap, yaitu: Syariat, dengan menjalankan hukum-h ukum agama seperti
salat, zakat, dan lain-lain, Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti
wirid, zikir dalam waktu dan hitungan tertentu, Hakekat, di mana hakikat dari
manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan, dan Makrifat, kecintaan kepada
Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa setelah memasuki
tahapan-tahapan tersebut, maka tahapan di bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah
yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf
yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami ratusan
tahun setelah wafatnya Syekh Siti Jenar. Para ulama mengkhawatirkan adanya
kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar
kepada masyarakat awam di mana pada masa itu, ajaran Islam yang harus
disampaikan seharusnya masih pada tingkatan syariat, sedangkan ajaran Syekh
Siti Jenar telah jauh memasuki tahap hakekat, bahkan makrifat kepada Allah.
Oleh karena itu, ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar dikatakan sesat.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus memperdebatkan
masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apa pun, setiap
pemeluknya sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa, hanya saja masing-masing
menyembah dengan menyebut nama yang berbeda dan menjalankan ajaran dengan cara
yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing-masing pemeluk agama tidak perlu
saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agama yang dianutnya adalah yang
paling benar. Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih
mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah
dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.Ajaran
Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang
hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut.
Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai
kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut
sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya. Sebagai
konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini tidak dapat dikenai hukum yang
bersifat keduniawian, misalnya hukum negara, tetapi tidak termasuk hukum
syariat peribadatan sebagaimana yang ditentukan oleh syariah. Menurut ulama
pada masa itu yang memahami inti ajaran Syekh Siti Jenar, manusia di dunia ini
tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, Sholat, puasa,
zakat, dan haji. Baginya, syariah baru akan berlaku setelah manusia menjalani
kehidupan pasca kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada
dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh
para ulama pada masa itu, mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang
dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam, kira-kira pada abad ke-9
Masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia.
Dimana seharusnya pemahaman ketauhidan melewati empat tahap, yaitu: Syariat, dengan
menjalankan hukum-hukum agama seperti salat, zakat, dan lain-lain, Tarekat,
dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan
tertentu, Hakekat, di mana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan
ditemukan, dan Makrifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.
Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut, maka tahapan di
bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para
ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti
Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami ratusan tahun setelah wafatnya Syekh Siti
Jenar. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran
yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam di mana pada masa
itu, ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya masih pada tingkatan
syariat, sedangkan ajaran Syekh Siti Jenar telah jauh memasuki tahap hakekat,
bahkan makrifat kepada Allah. Oleh karena itu, ajaran yang disampaikan oleh
Syekh Siti Jenar dikatakan sesat. Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu
apabila harus memperdebatkan masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam
agama apa pun, setiap pemeluknya sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa,
hanya saja masing-masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda dan
menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu,
masing-masing pemeluk agama tidak perlu saling berdebat untuk mendapat
pengakuan bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar. Syekh Siti Jenar
juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam
menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala
berarti belum bisa disebut ikhlas.
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh
Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat
Al-Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di
dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling
Kawula Gusti.
“Dalam agama apa pun, setiap pemeluknya sebenarnya
menyembah zat Yang Maha Kuasa, hanya saja masing-masing menyembah dengan
menyebut nama yang berbeda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu
sama. Oleh karena itu, masing-masing pemeluk agama tidak perlu saling berdebat
untuk mendapat pengakuan bahawa agama yang dianutnya adalah yang paling benar.”
Nama
asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di
Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan
ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia
mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah
Brit.
Syaikh
Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw.
Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih
bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah
Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid
Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib
Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi
al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa
An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam
Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin
Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad
Rasulullah Saw.
Syaikh
Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru
kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti
Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.
Kemudian
ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah
dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat
menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad
Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah
Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya
bermukim di Malaka.
Kemudian
pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar
Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid
Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.
Pada
akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon.
Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi
Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah
Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam
Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada
Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid
Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:
1.
Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah,
dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa
Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2.
Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk
wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
3.
Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat,
Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara
4.
Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali
bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India,
Yaman.
Kitab-Kitab
yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus
Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’
Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir
Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab
At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib
al-Makkiy.
Sedangkan
dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8
tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah
wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai
Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di
antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali
Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.
KESALAHAN
SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:
1.
Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini
bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti
referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah
sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ;
Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg
masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen
Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen
manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan
kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah.
Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal
di desa Lemah Abang]….
2.
“Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar
oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar
alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam
Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal
Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah
Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu
syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa
kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati,
Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
3.
Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat,
Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah
Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh
Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa
dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan
Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah
bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi,
tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak
pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.
4.
Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh
Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu
penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat
keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing
dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia
tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum
sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya
meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan
ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar
meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon.
Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan
melaksanakan sholat shubuh.“
5.
Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak
memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang
ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau
sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah
Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara
kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang
mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9
waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari
keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”
Penghancuran
sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah
Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara
Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan
Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik
Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1)
Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2)
Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3)
Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]
Wahai
kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap
upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis
terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama
umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu
dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.
Ajaran Syekh Siti Jenar dikenal
sebagai ajaran ilmu kebatinan. Suatu ajaran yang menekankan aspek kejiwaan dari
pada aspek lahiriah yang kasat mata. Intinya ialah konsep tujuan hidup. Titik
akhir dari ajaran Siti Jenar ialah tercapainya Manunggaling Kawula Gusti. Yaitu
bersatunya antara roh manusia dengan Ruh Allah. Paham inilah yang hampir sama
dengan ajaran para zuhud, wali dan orang-orang khowash. Zuhud banyak dijumpai
dalam dunia tasawuf. Mereka merupakan orang-orang atau kelompok yang menjauhkan
diri dari kemewahan dan kesenangan duniawi. Sebab mereka mempunyai tujuan hidup
yang lebih utama, yakni ingin mencapai kesucian jiwa atau roh.
Inti ajaran Syekh Siti Jenar adalah
pencapaian spiritualitas yang tinggi dalam penyatuan antara makhluk dengan Ruh
Pencipta, yang lebih populer disebut sebagai Manunggaling Kawula Gusti.
Bagian-bagian dari ajaran itu adalah meliputi penguasaan hidup, pengetahuan
tentang pintu kehidupan, tentang kematian, tempat kelak sesudah ajal, hidup
kekal tak berakhir dan tentang kedudukan Yang Mahaluhur. Paham yang hampir
senada dengan falsafah Jawa kuno.
Suatu ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu kepada para
murid-muridnya. Syekh Siti Jenar berkata, “Manusia harus berpegang pada akal,
meyakini pula dua puluh sifat yang dimiliki Allah”. Antara lain yakni; wujud,
tak berawal, tak berakhir, berlainan dengan barang baru, berkuasa, berkehendak,
berpengetahuan, memiliki ilmu secara hakikat dan sebagainya. Para santri
mengajukan pertanyaan- pertanyaan sebagai berikut:
Tentang Ketuhanan
Murid: Apakah wujud dari Tuhan itu dapat dimiliki oleh manusia?
Syekh Jenar: Memang, sifat wujud itu bisa dimiliki manusia dan itulah inti
dari ajaran ini. Selama manusia mampu menjernihkan kalbunya, maka ia akan
mempunyai sifat-sifat itu. Sifat tersebut pun sudah kumiliki. Kalian bisa
melakukannya dengan mengamalkan apa yang hendak kuajarkan. Allah adalah
satu-satunya yang wajib disembah. Dia tidak tampak dan tidak berbentuk. Tidak
terlihat oleh mata. Sedangkan alam dan segala isinya merupakan cerminan dari
wujud Allah yang tampak. Seseorang bisa meyakini adanya Allah karena ia melihat
pancaran wujudNya melalui jagad raya ini. Allah tidak berawal dan berakhir,
memiliki sifat langgeng, tak mengalami perubahan sedikitpun. Allah berada di
mana-mana, bukan ini dan bukan itu. Dia berbeda dengan segala wujud barang baru
yang ada di dunia.
Murid: Wahai Kanjeng Sykeh, jelaskan kepada kami tentang hakikat
kodrat?
Syekh Jenar: Kodrat adalah kekuasaan pribadi Tuhan. Tak ada yang
menyamainya. KekuatanNya tanpa sarana. kehadiranNya berasal dari ketiadaan,
luar dan dalam tiada berbeda. Tak dapat ditafsirkan. Jika engkau menghendaki
sesuatu maka pasti kalian rencanakan matang-matang dan pasti pikirkan
berulang-ulang. Itupun masih sering meleset. Namun Allah tidak demikian, bila
menghendaki sesuatu tak perlu dipersoalkan terlebih dahulu.
Murid: Kalau begitu Allah tidak memerlukan sesuatu?
Syekh Jenar: Benar Allah tidak memerlukan sesuatu. Karena itu jika kalian
hidup tanpa memerlukan sesuatu, tanpa butuh harta benda, tanpa butuh jabatan,
tanpa butuh pujian, maka kalian akan merasakan hidup yang sesungguhnya. Kalian
akan memiliki sifat Allah tersebut.
Murid: Kalau manusia menghindari sesuatu dan merasa tidak memerlukan
apapun, apakah akhirnya dapat disamakan dengan Allah?
Syekh Jenar: Tidak! walaupun manusia hidup tanpa bergantung sama sekali
kepada duniawi, namun ia tetap berbeda dengan Allah. Tidak bisa disamakan
dengan Tuhan. Allah adalah pencipta dan kalian adalah yang diciptakan. Allah
berdiri sendiri, tanpa memerlukan bantuan. Hidupnya tanpa roh, tidak merasa
sakit dan kesedihan, Allah muncul sekehendaknya.
Murid: Jika Allah berkehendak, maka apakah kehendak seseorang itu
karena kemauan Allah?
Syekh Jenar: Untuk sampai pada jawaban itu, kita harus membedakan seseorang
mana. Manusia itu dibedakan menjadi beberapa tingkatan. Ada yang awam, ada yang
khowash. Orang awam hanya beribadah secara Syariat, tanpa dapat memelihara
kalbu, maka ia masih jauh bisa berhubungan dengan Allah. Sedangkan orang-orang
khowash, termasuk para Nabi, Rasul dan waliyullah, mereka beribadah secara
utuh. Bahkan sampai pula pada tingkatan hakikat. Kalau kalbunya sudah bersih
dari duniawi dan menyatu dengan cahaya Ilahi, maka kehendak dan kemauannya itu
berasal dari Allah. Perbuatannya adalah perbuatan Allah. Maka jangan heran jika
ada orang yang diberi karomah sehingga segala ucapannya menjadi bertuah.
Murid: Kalau begitu, ibadahnya orang yang sudah khowash itu merupakan
kehendak Allah?
Syekh Jenar: Benar! Mereka mempunyai kejernihan akal budi. Memiliki kebersihan
jiwa dan ilmu. Salat lima waktu dan berzikir merupakan kehendak yang sangat
dalam. Bukan kehendak nafsunya, namun kehendak Allah. Semangatnya sedemikian
besar. Mereka salat tidak mengharapkan pahala, tetapi merupakan suatu kewajiban
(diri) dan pengabdian. Badan haluslah yang mendorong untuk menjalankan.
Murid: Banyak orang melakukan salat tetapi tidak menyentuh kepada
Yang Disembah. Ini bagaimana?
Syekh Jenar: Memang banyak orang yang secara lahiriah tampak khusuk
salatnya. Bibirnya sibuk mengucapkan zikir dan doa-doa, namun hatinya ramai
oleh urusan duniawi mereka. Islam yang demikian ini ibarat kelapa, mereka hanya
makan serabutnya. Padahal yang paling nikmat adalah buah/daging kelapa dan air
kelapanya. Mereka sembahyang lima waktu sebatas lahiriah saja. Tidak
berpengaruh sama sekali kepada akal budinya. Padahal sembahyang itu diharapkan
dapat mencegah keji dan munkar namun mereka tak mampu melakukannya dalam
kehidupan sehari-hari. Kalaupun hakikat salatnya itu membekas pada budinya
itupun hanya sedikit. Buat apa sembahyang lima kali jika perangainya buruk?
Masih suka mencuri dan berbohong. Untuk apa bibir lelah berzikir menyebut asma
Allah, jika masih berwatak suka mengingkari asma. Kadang-kadang pula mereka
berharap pahala. Salatnya saja belum tentu dihargai oleh Allah, tetapi
buru-buru meminta balasan … aneh!
Murid: Wahai Syekh, ada Hadis Rasulullah yang menyebutkan bahwa amal
hamba yang pertama kali diperhitungkan adalah sembahyang. Jika sembahyangnya
baik, maka semua dianggap baik. Ini bagaimana?
Syekh Jenar: Itu perlu ditafsirkan. Tidak boleh dipahami secara dangkal
makna dari Hadis tersebut. Hadis itu mengandung logika sebagai berikut; Orang
yang tekun mengerjakan sembahyang dengan sempurna, maka perilaku, budi pekerti
dan kalbunya juga harus terpengaruh menjadi baik. Sebab sembahyang yang
dilakukan dengan jiwa yang bersih akan berpengaruh pula bagi cabang kehidupan
lainnya. Lebih lanjut Syekh Siti Jenar mengatakan; sebaliknya Hadis itu tidak
berlaku bagi orang yang tekun mengerjakan sembahyang tetapi hatinya masih
kotor, tersimpan keinginan-keinginan nafsu misalnya ingin dipuji orang lain,
terdapat ujub dan sombong, serta budinya menyimpang dan menabrak tatanan yang
dilarang.
Murid: Apakah ada tuntunan mengenai pakaian seseorang yang sedang
melakukan sembahyang?
Syekh Jenar: Sesungguhnya aku (Syekh Siti Jenar) tidak sependapat jika ada
orang yang mengenakan pakaian gamis dan meniru-niru pakaian orang Arab dalam
melakukan salat. Jika selesai salat, jubah atau gamis itu dilepaskan. Sedangkan
salat orang tersebut tidaklah menyentuh hatinya. Meskipun berlama-lama merunduk
di Masjid, namun masih mencintai duniawi. Sembahyang yang pakaiannya
kedombrangan, merunduk di Masjid berlama-lama sampai lupa anak-istri. Sedangkan
ia masih mencintai duniawi dan mengumbar nafsu manusiawinya. Bahkan dalam
kehidupan sehari-hari, ia seringkali menyusahkan orang lain. Maka orang yang
demikian itu tidak terpengaruh oleh sembahyang yang dilakukan. Biasanya tipe
orang seperti itu sibuk menghitung pahala. Dia sangat keliru dan bodoh. Pahala
yang masih jauh tetapi diperhitungkan. Sungguh, sedikit pun tak akan dapat
dicapainya.
Murid: Ruh Yang Luhur dan Sejati itu sesungguhnya siapa, wahai Syekh?
Syekh Jenar: Gusti Allah. Gusti Allah adalah Ruh yang tinggi dan terhormat.
Ia memiliki dua puluh sifat, semua timbul atas kehendakNya. Ia mampu
mencurahkan ilmu kebesaran, kasampurnan, kebaikan, keramahan, kekebalan dalam
segala bentuk, memerintah umat. Dapat muncul di segala tempat dan sakti sekali.
Aku (Syekh Siti Jenar) merasa wajib dan menuruti kehendakNya. Sebagaimana
ajaran Jabariyah, dengan kesungguhan dan konsekuen, selalu kuat cita-citanya,
kokoh tak tergoyahkan terhadap sesuatu yang tidak suci, berpegang teguh
kepadaNya selama hidup, tak akan menyembah terhadap ciptaanNya, baik dalam
wujud maupun dalam pengertian.
Murid: Mengapa Kanjeng Syekh dianggap oleh para wali sebagai wali
murtad?
Syekh Jenar: Karena ajaranku tidak mudah dipahami orang awam.
Murid: Bagaimana ajaran Kanjeng Syekh yang dianggap sesat?
Syekh Jenar: Aku adalah penjelmaan dari Ruh Luhur, yang memiliki semangat,
sakti dan kekal akan kematian. Dengan hilangnya dunia Gusti Allah telah memberi
kekuasaan kepadaku dapat manunggal denganNya, dapat langgeng mengembara
melebihi kecepatan peluru. Bukannya akal, bukannya nyawa, bukan penghidupan
yang tanpa penjelasan dari mana asalnya dan kemana tujuannya.
Murid: Apa hubungannya antara kanjeng Syekh Siti Jenar dengan Allah,
yang kau sebut sebagai Ruh Sejati?
Syekh Jenar: Ruh yang sejati menguasai wujud penampilanku. Karena
kehendakNya maka wajarlah jika aku tidak mendapat kesulitan. Aku bisa berkelana
ke mana-mana. Tidak merasa haus dan lelah, tanpa sakit dan lapar, karena ilmu
kelepasan diri, tanpa suatu daya kekuatan. Semua itu disebabkan jiwaku tiada
bandingannya. Secara lahiriah memang tidak berbuat sesuatu, tetapi tiba-tiba
sudah berada di tempat lain. Gusti Kang Murbeng Dumadi (Allah) yang kuikuti,
kutaati siang malam, yang kuturut segala perintahNya. Tiada menyembah Tuhan
lain, kecuali setia terhadap suara hati nuraniku. Allah Maha Suci.
Murid: Wahai Syekh jelaskan apa yang di maksud bahwa Allah itu Maha
Suci?
Syekh Jenar: Allah Maha Suci itu hanyalah sebatas istilah saja. Merupakan
nama saja. Sebenarnya hal itu dapat disamakan dengan bentuk penampilanku. Jika
kalian melihatku, maka tampak dari luar sebagai warangka (kerangka), sedangkan
di dalamnya adalah kerisnya (intinya) Hyang Agung, yang tak ada bedanya dengan
kerangka. Tuhan itu wujud yang tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi
dilambangkan seperti bintang yang bersinar cemerlang. Sifat-sifatNya berwujud
samar-samar bila dilihat, warnanya indah sekali seperti cahaya.
Murid: Di manakah Tuhan berada? kami membayangkan Dia ada di langit
ke 7 dan bersemayam di atas singgasana layaknya raja.
Syekh Jenar: Siti Jenar mendadak tertawa. Setelah tertawanya reda, ia
berkata, “Itu salah besar, itu kebodohan. Sesungguhnya Tuhan tidak berada di
langit ketujuh dan tidak bertahta di singgasana atau arsy (kursi). Bila kalian
membayangkan demikian, maka hati kalian sudah musyrik. Berdosa besar. Karena
kalian menyamakan Dia dengan raja atau dengan penguasa.
Murid: Kami jadi bingung, Kanjeng Syekh, lantas Tuhan itu ada di
mana?
Syekh Jenar: Kalau kalian bertanya demikian, maka jawabnya mudah. Gusti
Allah itu tidak kemana-mana, tetapi ada di mana-mana.
Murid: Kami semakin tak mengerti. Bisakah Kanjeng Syekh memberi
penjelasan yang lebih gamblang?
Syekh Jenar: Gusti Allah itu berada pada Ruh yang tempatnya tidak jauh. Dia
bersemayam di dalam tubuh kita. Tetapi hanya orang yang khowash, orang yang
terpilih dapat melihat. Tentunya dengan mata batin. Hanya mereka yang dapat
merasakannya.
Murid: Apakah Allah itu berupa roh atau sukma?
Syekh Jenar: Bukan roh dan bukan sukma. Allah adalah wujud yang tak dapat
dilihat oleh mata, tetapi dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar
cemerlang. Sudah kukatakan tadi, warnanya indah sekali. Ia memiliki dua puluh
sifat seperti; sifat ada, tak berawal, tak berakhir, berbeda dengan barang-barang
yang baru, hidup sendiri dan tidak memerlukan bantuan dari sesuatu, berkuasa,
berkehendak, mendengar, melihat, berilmu, hidup dan berbicara. Sifat Gusti
Allah yang 20 itu terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut dengan Ruh.
Sifat 20 itu juga menjelma pada diriku. Karena itu aku yakin tidak akan
mengalami sakit dan sehat, punya budi kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan
keramahan. Roh ku memiliki sifat 20 itu, sedangkan ragaku yang lahiriah
memiliki sifat nur Muhammad.
Murid: Wahai Syekh, bukankah Muhammad SAW itu seorang Nabi. Apakah
Syekh mengaku sebagai Nabi? Sedangkan dikatakan bahwa setelah Nabi Muhammad, di
dunia ini tidak ada ke-Nabi-an lagi?
Syekh Jenar: Jangan salah menafsirkan kata-kataku. Jika salah, maka kau
akan sesat dan timbul fitnah. Tentu saja memfitnah diriku. Begini, bahwa rohku
adalah Ruh Ilahi. Karena aku pun memiliki sifat 20. Sedangkan badan wadagku,
jasadku ini, adalah jasad Muhammad. Dari segi lahiriah Muhammad adalah manusia.
Namun manusia Muhammad berbeda dengan orang kebanyakan. Muhammad memiliki jasad
yang kudus, yang suci. Aku dan dia sama-sama merasakan kehidupan, merasakan
manfaat panca indera. Dan panca indera itu hanyalah meminjam. Jika sudah
diminta kembali oleh Pemiliknya akan berubah menjadi tanah yang busuk, berbau,
hancur dan najis. Nabi atau wali, jika sesudah kematian jasadnya menjadi tak
bermanfaat. Bahkan berbau, kotor, najis, busuk dan hancur. Warangka jika sudah
ditinggalkan kerisnya maka tiada guna.
Murid: Jika seseorang sudah mati, berarti selesai sudah kehidupannya?
Syekh Jenar: Siapa bilang begitu? Tidak! Meskipun jasadnya mati, tetapi
sebenarnya ia tidaklah mati. Karena itu, kalian semua harus mengerti bahwa
dunia ini sesungguhnya bukanlah kehidupan. Buktinya ada mati. Di dunia ini,
kehidupan disebut kematian. Coba rasakan! Aku mengajarkan kepada kalian untuk
tidak menyintai dunia ini dan tidak terpesona terhadap keindahannya. Carilah
kebenaran dan kebahagiaan sejati demi kehidupan mendatang, kehidupan setelah
kematian. Kalian akan berarti jika telah menemui kematian dan hidup sesudah
itu. Engkau harus memilih hidup yang tak bisa mati. Dan hidup yang tak bisa
mati itu hanya kalian rasakan setelah nyawa terlepas dari badan. Kehidupan itu
akan dapat dirasakan dengan tanpa gangguan seperti sekarang ini. Ketahuilah,
hidup yang sesungguhnya adalah setelah nyawa lenyap dari badan.
Murid: Agar dapat meraih kehidupan dalam kemuliaan sejati kelak,
dalam kehidupan di dunia ini dibutuhkan kebenaran dan kebahagian sejati.
Bagaimanakah cara mendapatkannya Kanjeng Syekh?
Syekh Jenar: Jiwa manusia adalah suara hati nurani. suara hati nurani
merupakan ungkapan Ruh Allah yang harus ditaati perintahnya. Maka ikutilah hati
nuranimu.
Murid: Bagaimana caranya meyakinkan bahwa suatu bisikan adalah suara
hati nurani yang sesungguhnya?
Syekh Jenar: Kalian harus cermat, karena hati nurani berbeda dengan akal
budi, jiwa itu milik Allah, sedangkan akal milik manusia. Akal bersifat
manusiawi, karena itu kadang-kadang akal tak mampu menemukan keajaiban Allah.
Kehendak, angan-angan, ingatan, merupakan suatu akal yang tak kebal atas
kegilaan. Suatu ketika akal bisa menjadi bingung sehingga membuat seseorang
lupa diri. Akal seringkali tidak jujur. Siang malam membuat kepalsuan demi
memakmurkan kepentingan pribadi.
Murid: Bukankah manusia menjadi lebih mulia jika dibandingkan dengan
makhluk lainnya, karena manusia diberi akal oleh Allah?
Syekh Jenar: Ya, itulah yang membedakan. Tapi jangan lupa bahwa akal
seringkali tidak jujur. Sering bersifat dengki, suka memaksa, melanggar aturan,
jahat, suka disanjung-sanjung, sombong, yang ahirnya membuat manusia justru
tidak berharga samasekali. Lebih hina dari makhluk lainnya.
Murid: Jadi kita harus menggunakan akal sesuai dengan jiwa atau
kehendak Allah?
Syekh Jenar: Ya, benar. Jika seseorang mampu mengendalikan akalnya dengan
ajaran Allah, dengan kebenaran, dan dengan jiwa yang bersih, maka ia
bermanfaat. Menjadikan diri lebih mulia.
Murid: Apa yang menghalangi seseorang sehingga gagal dalam dalam
menempuh Manunggaling Kawula Gusti?
Syekh Jenar: Jangan mementingkan kehidupan duniawi. Sebab kehidupan duniawi
yang kalian jalani penuh kotoran. Akal kalian mudah tercemar dengan kotoran
sifat dan mudah dikuasai oleh nafsu, sehingga menghalangi kalian untuk bisa
menuju pada tahap Manunggaling Kawula Gusti.
Murid: Di dunia ini ada yang cantik, tampan dan gagah. Bagaimana
kedudukan orang-orang tersebut jika kelak telah terlepas rohnya?
Syekh Jenar: Kalian jangan mencintai dan mengagumi bentuk yang cantik,
tampan atau gagah. Sebab sebenarnya badan wadag (jasad) laksana sangkar yang
mengurung jiwa. Badan wadag merupakan beban yang memberatkan dan menyakitkan
roh kalian.
Murid: Wahai Syekh, benarkah sesudah kematian ada Surga – Neraka?
Syekh Jenar: Para wali memang mengajarkan demikian. Inilah ajaran yang
justru menurutku menyesatkan karena terlalu dangkal. Para wali hanya
mengajarkan “serabut” atau kulitnya, tidak sampai pada isinya; tidak sampai
pada hakikat yang sebenarnya. Para wali mengajarkan bahwa Surga dan Neraka
hanya dijumpai kelak setelah kiamat. Adanya di akhirat. Dan orang-orang awam
menelan mentah-mentah keterangan itu. Siksa kubur hanya dijumpai dan dirasakan
badan wadag ketika di tanam di kuburan. Para wali memang bertujuan baik, tetapi
diputus sampai di situ. Mereka enggan menjelaskan lebih dalam dan lebih sampai
pada makna yang hakiki.
Murid: Kalau menurut Syekh bagaimana?
Syekh Jenar: Begini, untuk menemui dan merasakan Surga dan Neraka maka
seseorang tidak harus menunggu sampai mati atau sampai datangnya kiamat. Di
dunia ini saja kita sudah dapat merasakan Surga dan siksa Neraka. Karena
sesungguhnya Surga dan Neraka itu berada di dalam jiwa kalian. Berada di dalam
jiwa setiap manusia yang bernafas. Jika jiwa manusia telah bersih dari gangguan
hawa nafsu dan dapat menyatu dengan Gusti Allah, maka di dunia ini ia akan
merasakan suatu kenikmatan Surga. Jika budi kalian, misalnya menolong orang
lemah, lalu hati menjadi ikhlas dan puas, maka itulah yang disebut Surga.
Sedangkan Neraka, perwujudannya adalah jika hawa nafsu telah menguasai diri
seseorang. Kemudian jiwanya meronta dan merasa bersalah. Maka dia tentu
tersiksa. Ia tidak bisa tidur, gelisah pikirannya, sedih dan bermacam-macam
rasa tak enak. Itulah yang dinamakan Neraka.
Murid: Jadi Surga dan Neraka di akhirat tidak berlaku? Maksud kami
tidak ada?
Syekh Jenar: Surga dan Neraka di hari kiamat, di akhirat kelak, sudah
diterangkan dalam Qur’an. Itu perkara gaib dan erat kaitannya dengan iman.
Kalian harus meyakininya.
Murid: Untuk apa meyakini? Bukankah jika di dunia berbudi baik dan
beriman kepada Allah sudah merasakan Surga. Sedangkan Surga dan Neraka di
akhirat hanyalah bersifat menakut-nakuti manusia agar tidak berbuat buruk?
Syekh Jenar: Pendapatmu memang cerdas dan kritis. Namun kalian tidak usah
mempertanyakan, apakah kelak di akhirat ada Surga dan Neraka. Itu urusan Gusti
Allah. Kalian harus meyakini. Karena meyakini hari akhir merupakan rukun iman.
Sekali lagi, untuk mendapatkan Surga pun kalian tak perlu menunggu datangnya
hari akhir. Meskipun seseorang sembahyang seribu kali setiap hari, toh akhirnya
mati juga. Walaupun badanmu kau tutupi dengan kain surban dan jubah, namun
akhirnya menjadi debu juga. Maka jiwalah yang paling penting. Jika keadaan jiwa
seperti Tuhan, maka Surga akan didapatkannya. Kenikmatan luar biasa akan
dirasakan.
Murid: Wahai Syekh, sesungguhnya yang menjadi pikiranku adalah
sebelum ada dunia ini, apakah sudah ada dunia lainnya. Atau setelah kiamat,
apakah Tuhan membuat dunia baru lagi seperti sekarang?
Syekh Jenar: Sebelum dunia ada, apakah ada dunia lain, itu hanya Allah yang
tahu. Tetapi sekarang kita berada di dunia ini menempati ruang dan waktu. Dunia
ini asalnya adalah baru. Kemudian mengalami kerusakan dan kelak akhirnya
menjadi hancur. Lenyap tak berharga. Setelah kiamat, apakah Tuhan membuat dunia
baru untuk keduakalinya? Tidak!
Murid: Wahai Syekh, kalau begitu dunia erat kaitannya dengan raga
kita, sedangkan jiwa erat kaitannya dengan alam akhirat?
Syekh Jenar: Benar, dunia itu erat kaitannya dengan raga. Raga mempunyai
sifat seperti alam semesta, yang semula baru kemudian rusak. Sedangkan jiwa
tidak akan mengenal kerusakan karena jiwa merupakan penjelmaan Ruh Allah.
Ketahuilah bahwa raga adalah barang pinjaman yang suatu saat akan diminta oleh
Pemiliknya. Ketahuilah wahai murid-muridku. Raga ini sesungguhnya sangkar yang
membelenggu dan menyulitkan jiwa. Agar jiwa menjadi bebas, maka suatu saat
kelak, kalian akan kuajarai bagaimana cara melepas jiwa dari raga. Ilmu melepas
jiwa artinya bahwa kematian adalah titik awal kehidupan yang sebenarnya. Jika
seseorang raganya mati, maka jiwanya menjadi merdeka, bebas dan tidak
terkungkung lagi. Sebab raga berhubungan erat dengan alam semesta. Sedangkan
jiwa berhubungan erat dengan Ruh Tuhan. Selamanya jiwa tak akan bisa mati atau
rusak.
Murid: Apakah yang dimaksud jalan kehidupan, wahai Syekh?
Syekh Jenar: Jalan kehidupan adalah jalan menuju kepada hidup yang
sebenar-benarnya, setelah engkau mengalami kematian. Jika seorang bayi lahir,
maka bukanlah awal kehidupan, namun merupakan awal “kehidupan palsu” seperti
yang kalian rasakan saat ini. Inilah yang sesungguhnya kematian sejati.
Murid: Jika demikian badan ini tidak bisa merasakan kehidupan yang
sebenar-benarnya?
Syekh Jenar: Ya, tidak bisa. Kehidupan sejati tidak dapat dirasakan oleh
raga, karena jika raga mati akan tetapi dapat dirasakan oleh jiwa. Membusuk
menjadi tanah.
Murid: Bagaimana jika sekarang ini seseorang berbuat dosa. Apakah
jiwanya ikut bertanggungjawab. Sedangkan yang melakukan dosanya adalah raga?
Syekh Jenar: Tetap ikut bertanggungjawab, karena jiwa yang menyatu ke dalam
raga tidak bisa mencegah hawa nafsunya serta akal yang suka berbuat buruk.
Murid: Maaf saya belum paham Syekh.
Syekh Jenar: Ketahuilah, setiap orang yang lahir di dunia ini maka jiwanya
menyatu dengan akal. Selain akal dalam diri manusia juga ada hawa nafsu. Ketika
seseorang berbuat buruk, berarti raganya didorong dan dipengaruhi oleh hawa
nafsu dan akalnya. Akal dan nafsu memang suka berbuat buruk. Apabila jiwa
mencegah (melalui hati nurani), maka raga tidak akan berbuat buruk. Akan tetapi
jika jiwa membiarkannya, maka raga tetap melakukannya. Karena itu bagaimanapun
juga jiwalah yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan baik dan buruk raganya.
Murid: Tadi Syekh mengatakan jiwa adalah penjelmaan Ruh Tuhan.
Mengapa kadang-kadang jiwa mau mencegah dan kadang membiarkannya?
Syekh Jenar: Perlu kalian semua ingat, bahwa di dalam raga ini terdapat
nafsu-nafsu. Jika nafsu kuat menguasai, maka jiwa menjadi terbelenggu. Karena
itulah mengapa aku katakan bahwa kehidupan sekarang ini adalah kematian.
Sedangkan setelah ajal merupakan awal kehidupan. Sesudah kematian maka
seseorang akan mencapai kebebasan jiwanya.
Mendiskusikan tentang wafatnya Syekh Siti Jenar memang cukupmenarik. Sebagaimana banyaknya versi yang menjelaskan tentang asal-usul dansosol Syekh Siti Jenar, maka demikian pula halnya tentang varian versi yangmenerangkan tentang proses kematiannya. Secara umum kesamaan yang diperlihatkanoleh berbagai literatur seputar kematian Syekh Siti Jenar hanyalah yangberkaitan dengan masanya saja, yakni pada masa kerajaan Islam Demak di bawahpemerintahan Raden Fatah sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Tentu hal inijuga masih mengecualikan sebagian kisah versi Cirebon, yang menyebutkan bahwawafatnya Syekh Siti Jenar terjadi pada masa Sultan Trenggono. Sedangkan yangberkaitan dengan proses kematiannya, berbagai sumber yang ada memberikanpenjelasan yang berbeda-beda. Sampai saat ini, paling tidak terdapat beberapaasumsi (tujuh versi) mengenai proses meninggalnya Syekh Siti Jenar.
VersiPertama
Bahwa Syekh Siti Jenar wafat karena dihukum mati oleh SultanDemak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh SunanBonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, yangdilaksanakan di alun-alun kesultanan Demak. Sebagian versi ini mengacu pada “Serat Syeikh Siti Jenar” oleh Ki Sosrowidjojo.
VersiKedua
Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati.Pelaksana hukuman (algojo) adalah Sunan Gunung Jati sendiri, yangpelaksanaannya di Masjid Ciptarasa Cirebon. Mayat Syekh Siti Jenar dimandikanoleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, kemudiandimakamkan di Graksan, yang kemudian disebut sebagaiPasarean Kemlaten. Hal ini tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39terbitan Emon Suryaatmana danT.D Sudjana (alin bahasa pada tahun 1994).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudirman Tebba (2000: 41), SyekhSiti Jenar dipenggal lehernya oleh Sunan Kalijaga. Pada awalnya mengucur dararberwarna merah, kemudian berubah menjadi putih. Syekh Siti Jenar kemudianberkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah danMuhammad adalah utusan-Nya”. Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke surgaseiring dengan kata-kata: ”Jika adaseorang manusia yang percaya kepada kesatuan selain dari Allah Yang Mahakuasa, diaakan kecewa, karena dia tidak akan memperoleh apa yang dia inginkan”.
Untuk kisah yang terdapat dalam versi pertama dan kedua masihmemiliki kelanjutan yang hampir sama.
Sebagaimana dikemukakan dalam Suluk Syekh Siti Jenar, disebutkan bahwa setelah Syekh Siti Jenarmeninggal di Krendhawasa tahun Nirjamna Catur Tunggal (1480 M. Tahun yang tentusaja masih terlalu dini untuk kematian Syekh Siti Jenar), jenazahnya dibawa keMasjid Demak, karena saat itu magrib tiba, maka pemakaman dilakukan esokpaginya agar bisa disaksikan oleh raja. Para ulama sepakat untuk menjagajenazah Syekh Siti Jenar sambil melafalkan pujian-pujian kepada Tuhan. Ketikawaktu shalat tiba, para santri berdatangan ke masjid. Pada saat itu tiba-tibatercium bau yang sangat harum, seperti bau bunga Kasturi. Selesai shalat parasantri diperintahkan untuk meninggalkan masjid. Tinggal para ulama saja yangtetap berada di dalamnya untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar.
Bau harum terus menyengat, oleh karena itu Syekh Malaya mengajakulama lainnya untuk membuka peti jenazah Syekh Siti Jenar. Tatkala peti ituterbuka, jenazah Syekh Siti Jenar memancarkan cahaya yang sangat indah, lalumuncul warna pelangi memenuhi ruangan masjid. Sedangkan dari bawah petimemancarkan sinar yang amat terang, bagaikan siang hari.
Dengan gugup, para ulama mendudukkan jenazah itu, lalu bersembahsujud sambil menciumi tubuh tanpa nyawa itu bergantian hingga ujung jari. Kemudianjenazah itu kembali dimasukkan ke dalam peti, Syekh Malaya terlihat tidakberkenan atas tindakan rekan-rekannya itu.
Dalam Suluk Syekh SitiJenar dan Suluk Walisanga dikisahkanbahwa para ulama telah berbuat curang. Jenazah Syekh Siti Jenar diganti denganbangkai anjing kudisan. Jenazah itu dimakamkan mereka di tempat yangdirahasiakan. Peti jenazah diisi dengan bangkai anjing kudisan. Bangkai itu dipertontonkankeesokan harinya kepada masyarakat untuk mengisyaratkan bahwa ajaran Syekh SitiJenar adalah sesat.
Digantinya jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing initernyata diketahui oleh salah seorang muridnya bernama Ki Luntang. Dia datangke Demak untuk menuntut balas. Maka terjadilah perdebatan sengit antara KiLuntang dengan para Wali yang berakhir dengan kematiannya. Sebelum diamengambil kematiannya, dia menyindir kelicikan para Wali dengan mengatakan(Sofwan, 2000: 221):
“...luhta payo totonen derengsun manthuk, yen wus mulih salinen, bangke sakarepmudadi. Khadal, kodok, rase, luwak, kucing kuwuk kang gampang lehmu sandi, upayasadhela entuk, wangsul sinantun gajah, sun pastheake sira nora bisa luruh rehtanah jawa tan ana...”
...nah silahkan lihat diriku yang hendak menjemput kematian.Jika nanti aku telah mati, kau boleh mengganti jasadku sekehendakmu, kadal,kodok, rase, luwak atau kucing tua yang mudah kau peroleh. Tapi, jika hendakmengganti dengan gajah, kau pasti tidak akan bisa karena di tanah Jawa tidakada...”
Seperti halnya sang guru, Ki Luntang pun mati atas kehendaknyasendiri, berkonsentrasi untuk menutup jalan hidup menuju pintu kematian.
VersiKetiga
Bahwa Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman matioleh Sunan Giri, dan algojo pelaksana hukuman mati tersebut adalah Sunan GunungJati. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa vonis yang diberikan Sunan Giri atasusulan Sunan Kalijaga (Hasyim, 1987: 47).
Dikisahkan bahwa Syekh Siti Jenar mempunyai sebuah pesantrenyang banyak muridnya. Namun sayang, ajaran-ajarannya dipandang sesat dan keluardari ajaran Islam. Ia mengajarkan tentang keselarasan antara Tuhan, manusia danalam (Hariwijaya, 2006: 41-42).
Hubungan manusia dengan Tuhannya diungkapkan dengan “Manunggaling kawula-gusti” dan “Curiga Manjing Warangka”. Hubunganmanusia dengan alam diungkapkan dengan “MengasahMingising Budi, Memasuh Malaning Bumi”, dan “Hamemayu Hayuning Bawana”, yang bermuara pada pembentukan “Jalma Sulaksana”, “Al-insan Al-kamil”, “SariraBathara”, “Manusia Paripurna”, “Adi Manusia” yang imbang lahir batin, jiwa-raga,intelektual spiritual, dan kepala dadanya.
Konsep manunggaling kawula gusti oleh Syekh Siti Jenar disebutdengan “uninong aning unong”, saatsepi senyap, hening, dan kosong. Sesungguhnya Zat Tuhan dan zat manusia adalahsatu, manusia ada dalam Tuhan dan Tuhan ada dalam manusia.
Sunan Giri sebagai ketua persidangan, setelah mendengarpenjelasan dari berbagai pihak dan bermusyawarah dengan para Wali, memutuskanbahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat. Ajarannya bisa merusak moralmasyarakat yang baru saja mengenal Islam. Karenanya Syekh Siti Jenar dijatuhihukuman mati.
Syekh Siti Jenar masih diberi kesempatan selama setahun untukmemperbaiki kesalahannya sekaligus menanti berdirinya Negara Demak secaraformal, karena yang berhak menentukan hukuman adalah pihak negara (Widjisaksono, 1995: 61). Kalau sampai waktu yang ditentukan ia tidak mengubahpendiriannya, maka hukuman tersebut akan dilaksanakan.
Sejak saat itu, pesantren Syekh Siti Jenar ditutup danmurid-muridnya pun bubar, menyembunyikan diri dan sebagian masih mengajarkanajaran wahdatul wujud meskipun secarasembunyi-sembunyi. Setelah satu tahun berlalu, Syekh Siti Jenar ternyata tidakberbubah pendiriannya. Maka dengan terpaksa Sunan Gunung Jati melaksanakaneksekusi yang telah disepakati dulu. Jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan dilingkungan keraton agar orang-orang tidak memujinya.
VersiKeempat
Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhiSunan Giri sendiri. Peristiwa kematian Syekh Siti Jenar versi ini sebagaimana yangdikisahkan dalam Babad Demak. Menurutbabad ini Syekh Siti Jenar meninggal bukan karena kemauannya sendiri, dengankesaktiannya dia dapat menemui ajalnya, tetapi dia dibunuh oleh Sunan Giri. Kerisditusukkan hingga tembus ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning.Setelah mengetahui bahwa suaminya dibunuh, istri Syekh Siti Jenar menuntut belakematian itu kepada Sunan Giri. Sunan Giri menghiburnya dengan mengatakan bahwadia bukan yang membunuh Syekh Siti Jenar tetapi dia mati atas kemauannyasendiri. Diberitahukan juga bahwa suaminya kini berada di dalam surga. SunanGiri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia melihat suaminya berada disurga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana yang berkilauan(Sofwan, 2000: 218).
Kematian Syekh Siti Jenar dalam versi ini juga dikemukakan dalamBabad Tanah Jawayang disandur olehS. Santoso, dengan versi yang sedikit memiliki perbedaan. Dalam babad inidisebutkan Syekh Siti Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali kemasjid. Para ulama takjub karena dia dapat terbang ke surga, namun kemudianmarah karena badannya kembali ke masjid. Melihat hal yang demikian, Sunan Girikemudian mengatakan bahwa tubuhnya harum ditikam dengan sebuah pedang, kemudiandibakar. Syekh Maulana kemudian mengambil pedang dan menikamkannya ke tubuhSyekh Siti Jenar, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah danmenuduh Syekh Siti Jenar berbohong atas pernyataannya yang menegaskan bahwa diarela mati.
Syekh Siti Jenar menerima banyak tikaman dari Syekh Maulana,tetapi dia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, “Itu luka orang jahat, terluka tapi tidakberdarah”. Dari luka-luka Syekh Siti Jenar itu seketika keluar darah berwarnamerah. Seketika Syekh Maulana berkata lagi, ”Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah yang keluarberwarna merah”. Dari merah yang mengucur itu seketika berubah berwarnaputih. Syekh Maulana berkata lagi. “Iniseperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Kalau ‘insan kamil’betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya, berarti kawula gustitidak terpisah”. Dalam sekejap mata tubuh Syekh Siti Jenar hilang dandarahnya sirna.
Syekh Maulana kemudian membuat muslihat dengan membunuh seekoranjing, membungkusnya dengan kail putih dan mengumumkan kepada masyarakat bahwamayat Syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing disebabkan ajarannyayang bertentangan dengan syariat. Anjing itu kemudian di bakar.
Beberapa waktu setelah peristiwa itu, para ulama didatangi olehseorang penggembala kambing yang mengaku sebagai murid Syekh Siti Jenar. Diaberkata, ”Saya dengar para Wali telahmembunuh guru saya, Syekh Siti Jenar. Kalau memang demikian, lebih baik sayajuga Tuan-tuan bunuh. Sebab saya ini juga Allah, Allah yang menggembalakankambing”. Mendengar penuturannya itu kemudian Syekh Maulana membunuhnyadengan pedang yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh Syekh Siti Jenar.Seketika tubuh mayat penggembala kambing itu lenyap. (Tebba, 2003: 43).
VersiKelima
Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati,sedangkan yang menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah Sunan Kudus. Versitentang proses kematian Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi yang disuntingoleh Rahman Selendraningrat. Tentu bahwa kisah eksekusi terhadap Syekh Sitijenar yang terdapat dalam versi ini berbeda dari yang lainnya. Nampaknya kisahini bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan olehSunan Kudus.
Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra “kacirebonan” inidiawali dengan memperlihatkan posisi para pengikut Syekh Siti Jenar di Cirebonsebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kesultanan Cirebon. Sejumlah tokohpengkutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi semuanya menemuikegagalan. Tatkala Pengging dilumpuhkan, Syekh Siti Jenar yang pada saat itumenyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon diikuti oleh para muridnya dariPengging. Di Cirebon, kekuatan Syekh Siti Jenar menjadi semakin kokoh, pengikutnyameluas hingga ke desa-desa. Serelah Syekh Datuk Kahfi meninggal dunia, SultanCirebon menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di PadepokanAmparan Jati.
Pangeran Punjungan bersedia menjalankan tugas yang diembankansultan kepadanya, namun dia tidak mendapatkan murid di sana karena orang-orangtelah menjadi murid Syekh Siti Jenar. Bahkan panglima bala tentara Cirebonbernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi muridnya Syekh Siti Jenar.Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar merasa aman tinggal diCirebon Girang.
Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh SultanDemak. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai 700 orang prajurit keCirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkanmemberi bantuan untuk tujuan itu.
Langkah pertama yang diambil Sultan Cirebon adalah mengumpulkanpara murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, paraKyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di istanaPangkuangwati. Selanjutnya bala tentara Cirebon dan Demak menuju padepokanSyekh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syekh Siti Jenar kemudian di bawa ke masjidAgung Cirebon, tempat para Wali telah berkumpul.
Dalam persidangan itu, yang bertindak sebagai hakim ketuanadalah Sunan Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilanmemutuskan Syekh Siti Jenar harus dihukum mati. Kemudian Sunan Kudusmelaksanakan eksekusi itu menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwaitu terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506 (Sofwan, 2000: 222).
Pada peristiwa selanjutnya, mulai diperlihatkan kecurangan yangdilakukan oleh para ulama di Cirebon terhadap keberadaan jenazah Syekh SitiJenar. Dikisahkan, setelah eksekusi dilaksanakan, jenazah Syekh Siti Jenardimakamkan di suatu tempat yang kemudian banyak diziarahi orang. Untukmengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agarmayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan, sedangk di kuburanyang sering dikunjungi orang itu dimasukkan bangkai anjing hitam.
Ketika para perziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenardipindahkan ke Jawa Timur, kuburan di buka dan ternyata yang tergeletak didalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing. Parapeziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu. Ketika itu Sultan Cirebonmemanfaatkan situasi dengan mengeluarkan fatwa agar orang-orang tidakmenziarahi bangkai anjing dan agar meninggalkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar(Sulendraningrat, 1983: 28).
VersiKeenam
Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo. Padasaatu hukuman harus dilaksanakan, para anggota Wali Songo mendatangi Syekh SitiJenar untuk melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi kemudian para anggota WaliSongo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut, karena Syekh Siti Jenar justrumemilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon kepada Allah agar diwafatkantanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan para Sanan, sekaligus Syekh SitiJenar menempuh jalan kematiannya sendiri, yang sudah ditetapkan oleh Allah. Versiini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar yangdigubah oleh Ki Sosrowidjojo, yang kemudian disebarluaskan kembali ileh AbdulMunir Mulkan (t.t).
Sofwan (2000: 215-217) mengutip Suluk Walingsanga (sebagaimana juga yang terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam berbagaiversi) yang di dalamnya terdapat cerita yang mengisahkan bahwa kematian SyekhSiti Jenar berawal dari perdebatan yang terjadi antara Syekh Siti Jenar dengandua orang utusan Sultan Demak, yakni Syekh Domba dan Pangeran Bayat sebagaiutusan Sultan Fatah dan Majelis Wali Songo. Dua orang utusan ini diperintahSultan atas persetujuan Majelis Wali Songo untuk mengadakan tukar pikiran(lebih tepatnya menginvestigasi) dengan Syekh Siti Jenar mengenai ajaran yangdia sampaikan kepada murid-muridnya.
Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan oleh Syekh SitiJenar menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayahDemak. Hal ini disebabkan ulah para muridnya yang berbuat kegaduhan, merampok, berkelahi,bahkan membunuh. Bila ada kejahatan atau keonaran, tentu murid Syekh Siti Jenaryang menjadi pelakunya. Ketika pengawal kerajaan menangkap mereka, maka merekabunuh diri di dalam penjara. Bila dikorek keterangan dari mereka, dengan angkuhmereka mengatakan bahwa mereka adalah murid Syekh Siti Jenar yang telah banyakmengenyam ilmu makrifat, dan selalu siap mati bertemu Tuhan.
Mereka beranggapan bahwa hidup sekedar menjalani mati, olehkarena itu mereka merasa jenuh menyaksikan bangkai bernyawa bertebaran diatasnya. Dunia ini hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih memilihmeninggalkan dunia ini. Mereka juga mengejek, mengapa orang mati diajarishalat, menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidakpernah melihat Tuhan.
Berkenaan dengan pemahaman yang demikian ini, maka Syekh Dombadan Pangeran Bayat diutus oleh Sultan Demak untuk menemui Syekh Siti Jenar.Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan antara utusan Sultan dengan Syekh Siti Jenar.Dalam perdebatan itu, terlihat bahwa kemahiran Syekh Siti Jenar berada di atasSyekh Domba dan Pangeran Bayat. Pada akhirnya, Syekh Domba merasa kagum atasuraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar, bahkan dia bisa menyetujuikebenarannya. Dia ingin menjadi muridnya secara tulus, kalau saja tidak dicegaholeh Pangeran Bayat.
Selanjutnya, kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan apayang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah berundingdengan Majelis Wali Songo, Sultan kemudian mengutus lima orang Wali untukmemanggil Syekh Siti Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan ajarannya. Kelimautusan itu adalah Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Pangeran Modang, Sunan Geseng,dan Sunan Bonang sebagai pemimpin utusan itu. Mereka diikuti oleh empat puluhorang santri lengkap dengan persenjataannya untuk memaksa Syekh Siti Jenardatang ke istana. Sesampainya di kediaman Syekh Siti Jenar, kelima Walitersebut terlibat perdebatan sengit. Perdebatan itu berakhir dengan ancamanSunan Kalijaga. Sekalipun mendapatkan ancaman dari Sunan Kalijaga, Syekh SitiJenar tetap tidak bersedia datang ke istana karena menurutnya Wali dan rajatidak berbeda dengan dirinya, sama-sama terbalut darah dan daging yang akanmenjadi bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan karena ancaman yang ada,tetapi karena kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar kemudian berkonsentrasi,menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal dunia.
VersiKetujuh
Bahwa terdapat dua orang tokoh utama, yang memiliki nama asliyang berdekatan dengan nama kecil Syekh Siti Jenar, San Ali. Tokoh yang satuadalah Hasan Ali, nama Islam Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi yang semulaberambisi menguasai Cirebon, namun kemudian terusir dari Keraton, karenakedurhakaan kepada Rsi Bungsi dan pemberontakannya kepada Cirebon. Ia menaruhdendang kepada Syekh Siti Jenar yang berhasil menjadi seorang guru suci utamadi Giri Amparan Jati. Tokoh yang satunya lagi adalah San Ali Anshar al-Isfahanidari Persia, yang semua merupakan teman seperguruan dengan Syekh Siti Jenar diBaghdad. Namun ia menyinpan dendang pribadi kepada Syekh Siti Jenar karenakalah dalam hal ilmu dan kerohanian.
Ketika usia Syekh siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini bekerjasama untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa, ke tempat-tempat yang penduduknya menyatakan diri sebagaipengikut Syekh Siti Jenar, padahal mereka belum pernah bertemu dengan SyekhSiti Jenar. Sehingga masyarakat tersebut kurang mengenal sosok asli Syekh SitiJenar. Pada tempat-tempat seperti itulah, dua tokoh pemalsu ajaran Syekh SitiJenar memainkan perannya, mengajarkan berbagai ajaran mistik, bahkan perdukunanyang menggeser ajaran tauhid Islam.
Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, dan San AliAnshar mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar. Hasan Ali beroperasi di Jawabagian Barat, sementara San Ali Anshar di Jawa Bagian Timur. Kedua orang inisebenarnya yang dihukum mati oleh anggota Wali Songo, karena sudah melancarkanberbagai fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar sebagai guru dan anggota WaliSongo.
Kemungkinan karena silang sengkarut kemiripan nama itulah, makadalam berbagai Serat dan babad di daerah Jawa, cerita tentang Syekh Siti Jenarmenjadi simpang siur. Namun pada aspek yang lain, ranah politik juga ikutmemberikan andil pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar. Karena naiknya RadenFatah ke tampuk kekuasaan Kesultanan Demak, diwarnai dengan intrik perebutantahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh, sehingga segala intrik bisaterjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan, termasuk dengan mempolitisasiajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki dukungan massa banyak, namun tidakmenggabungkan diri dalam ranah kekuasaan Raden Fatah.
Jadi dikaitkan dengan kekuasaan Sultan Trenggono, sebagaimanatercatat dalam berbagai fakta sejarah, naiknya Sultan Trenggono sebagaipenguasa tunggal Kesultanan Demak, adalah dengan cara berbagai tipu muslihatdan pertumpahan darah. Karena sebenarnya yang berhak menjadi Sultan adalahPangeran Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, kakaklaki-laki Sultan Trenggono yang seharusnya menggantikan Adipati Unus. “Seda IngLepen” artinya meninggal di sungai.
Sebenarnya Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai, namundibunuh oleh orang-orang suruhan Pangeran Trenggono, baru setelah terbunuh,mayatnya dibuang ke sungai (Daryanto, 2009: 215-278). Kematian kakaknyatersebut diduga atas strategi Sultan Trenggono. Sultan Trenggono sendiri, padamulanya tidaklah begitu disukai oleh para adipati dan kebanyakan masyarakat, karenasifatnya yang ambisius, yang dibingkai dalam sikap yang lembut.
Salah satu tokoh penentang utama naiknya Trenggono sebagaiSultan adalah Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid utama Syekh SitiJenar. Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belummau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan kemudian kurangmenyukai Sultan Trenggono. Mungkin oleh karena faktor inilah, maka SultanTrenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut SyekhSiti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syekh Siti Jenar dihukum matioleh Dewan Wali Songo di masjid Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjingkudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal yangsangat mustahil terjadi dalam konteks hukum Islam, namun tentu dianggap sebagaisebuah kebenaran atas nama kemukjizatan bagi masyarakat awam.
Keberadaan para ulama “penjilat” penguasa, yang untuk memenuhiambisi duniawinya bersedia mengadakan fitnah terhadap sesama ulama, dan untukselalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajarankebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak kepentinganpenguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama. Imam Al-Ghazalidalam kitab Ihya’ “Ulum al-Dinmenyebutkansebagai al-‘ulama’ al-su’ (ulama yangjelek dan kotor). Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku paraulama pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlakpenguasa, disamping fitnah keji yang ditujukan kepada sesama ulama, namun bedapendapat dan kepentingan, maka Sunan Kalijaga membuatkan deskripsi secarahalus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai dalang, SunanKalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi politik dan memilikikarakter jelek sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan PendetaDurna (ulama yang bermuka dua, munafik).
Kedua tokoh tersebut dalam serial pewayangan model SunanKalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama;memakai surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang. Pemberiankarakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkansejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahatyang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai SangYamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengandirinya atau dengan penguasa di mana sang ulama mengabdikan dirinya. Haltersebut merupakan cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yangsudah mencitrakan pakaian keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut SangPencabut Nyawa. Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karenadalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus dibungkushabis.
Gambaran pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak SunanKalijaga terhadap para ulama yang menjilat kepada kekuasaan, bahkanaktivitasnya digunakan untuk semata-mata membela kepentingan politik dankekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntunganpribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulamayang ‘tukang’ hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulahyang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna.
Berbagai versi tentang kematian Syekh Siti Jenar menunjukkanbahwa tokoh Syekh Siti Jenar memang sangat kontroversional. Berbagai literaturyang ada tidak dapat memastikan tentang asal-usul keberadaannya hingga proseskematian yang dialaminya, disebabkan oleh banyak faktor dan kepentingan yangmengitarinya. Walaupun demikian, sejumlah besar keterangan yang mengisahkantentang keberadaannya memerlihatkan ajarannya yang selalu dipertentangkandengan paham para Wali, namun sekaligus tidak jarang membuat para Wali itusendiri “kagum” dan “mengakui” kebenaran ajarannya. Tentu saja, “pengakuan” dan“kekaguman” itu tidak pernah diperlihatkan secara eksplisit karena akanmengurangi “keagungan” mereka, disamping kurang objektifnya penulisan serat danbabad Jawa, yang terkait dengan Syekh Siti Jenar.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa dalam berabgai Seratdan Babad tersebut, akhir dari kisah Syekh Siti Jenar selalu dihiasi denganusaha-usaha intrik politik para Wali. Bisa jadi hal ini memang dilakukan olehpara ulama penjilat kekuasaan, oleh murid-murid generasi penerus para ulamayang pernah memusuhi ajaran Syekh Siti Jenar, atau para penulis kisah yang jugamemiliki kepentingan tersendiri terkait dengan motif politik, ideologi, keyakinan,dan ajaran keagamaan yang dianutnya.
Pada sisi lain, disamping disebabkan banyaknya referensi yangberbeda dalam menjelaskan kisah Syekh Siti Jenar, pemahaman mereka yang membacaakan memberikan pemahaman baru dari bacaan tersebut sehingga memperbanyakversi. Misalnya, tentang pemahaman salah satu versi mengenai asal-usul SyekhSiti Jenar yang dalam Serat Syekh SitiJenar, sebagaimana juga disadur dalam FalsafahSyekh Siti Jenar disebut “berasal dari caing (elur)”.
Sebagian penafsir mengatakan bahwa memang Syekh Siti Jenarbukanlah berasal dari manusia, namun semula ia adalah seekor cacing yangdisumpah oleh Sunan Bonang menjadi manusia. Padalah, jika cara pembacaan inidilakukan dengan cara referensi silang, kita mendapatkan penjelasan dari sumberlain, misalnya dalam Serat Seh Siti Jenaryang tersimpan di musem Radya Pustaka Surakarta, bahwa yang dimaksud “elur”(cacing) tidak lain adalah “wrejid bangsa sudra” (yang berasal dari rakyatjelata). Maksudnya Syekh Siti Jenar adalah masyarakat biasa yang berhasilmenjadi Wali, atau seorang Wali yang menjelata (menempatkan dirinya berada ditengah-tengah mansyarakat jelata) (lihat misalnya Sujamto, 2000: 87).
Sumber : K.H. Muhammad Sholikhin. TernyataSyekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo. Erlangga. Boyolali: 2008.
Ajaran Syekh Siti Jenar memang agak beda dengan ajaran
para Walisongo. Siti Jenar mengajarkan bahwa Tuhan adalah Zat yang mendasari
adanya manusia, hewan, tumbuhan dan segala yang ada. Keberadaan segala di dunia
ini tergantung pada adanya Zat. Tanpa ada Zat Yang Mahakuasa, maka mustahil
sesuatu yang wujud itu ada.
Ajaran ini tidak pernah disampaikan oleh para Walisongo.
Mereka menyadari bahwa umatnya masih terlalu awam terhadap Islam, sehingga
memberi materi yang ringan dan praktis saja.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan