Kesalahan Jamaah Tabligh yang
perlu diluruskan
Jika kita membincangkan tentang
jamaah tabligh, biasanya mereka akan berkata ; “ itu ( jamaah tabligh ) bukan
nama kita, terkadang kita juga dipanggil jamaah kompor atau jamaah dakwah dll.
“ Apapun nama mereka sehinggalah kita namakan jamaah tabligh hanya untuk
memudahkan saja dalam pembahasan ini.
Diantara ciri khas cara
berdakwah jamaah tabligh adalah menghindari kajian dan soal jawab tentang
ilmu-ilmu fiqh dan aqidah yang sering dituding sebagai 'biang pemecah belah
umat', serta lebih menonjolkan sunnah dalam bab cara berpakaian, makan dan
minum, tidur, dll yang membuat dakwah mereka sangat populer dan mudah diterima
masyarakat berbagai lapisan.
Dikalangan masyarakat gerakan
dakwah ini sangat populer, khususnya jika dikaitkan dengan akhlak. Mereka
sangat menonjolkan akhlak dalam kehidupan sehari-hari, dan itu diantara perkara
yang sangat di utamakan dalam prinsip dakwah mereka.
Pro dan kontra tentang mereka
pun meruak. Maka dalam pembahasan disini, saya mencuba untuk bersikap adil.
Alhamdulillah, saya pernah
bersama mereka, setidaknya saya ingin meletakkan suatu perkara pada tempatnya,
karena pembahasan ini bukan untuk menjatuhkan maruah saudara-saudaraku jamaah
tabligh. Pembahasan ini untuk pelajaran dan hikmah bagi saudaraku yang telah
memahami, dan ini untuk renungan bagi saudaraku di jamaah tabligh untuk di
teliti dan dikaji lalu disampaikan antara sesama untuk suatu perubahan.
Bagaimanakah hakikat jamaah
tabligh yang bermarkaz di India, Pakistan dan Banglades ? Kajian dibawah ini
adalah jawabannya.
Pendiri Jamaah Tabligh
Jamaah Tabligh didirikan oleh
seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyyah dan bermadzhab
fiqih Hanafi. Ia bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma'il Al-Hanafi
Ad-Diyubandi Al-Jisyti Al-Kandahlawi kemudian Ad-Dihlawi. Al-Kandahlawi merupakan
nisbat dari Kandahlah, sebuah desa yang terletak di daerah Sahranfur. Sementara
Ad-Dihlawi dinisbatkan kepada Dihli (New Delhi), ibukota India. Di tempat dan
negara inilah, markas gerakan Jamaah Tabligh berada. Adapun Ad-Diyubandi adalah
nisbat dari Diyuband, yaitu madrasah terbesar bagi penganut madzhab Hanafi di
semenanjung India. Sedangkan Al-Jisyti dinisbatkan kepada tarekat Al-Jisytiyah,
yang didirikan oleh Mu’inuddin Al-Jisyti.
Muhammad Ilyas sendiri
dilahirkan pada tahun 1303 H dengan nama asli Akhtar Ilyas. Ia meninggal pada
tanggal 11 Rajab 1363 H. (Bis Bri Musliman, hal.583, Sawanih Muhammad Yusuf,
hal. 144-146, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal.
2).
Latar Belakang Berdirinya
Jamaah Tabligh
Asy-Syaikh Saifurrahman bin
Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan, ”Ketika Muhammad Ilyas melihat mayoritas orang
Meiwat (suku-suku yang tinggal di dekat Delhi, India) jauh dari ajaran Islam,
berbaur dengan orang-orang Majusi para penyembah berhala Hindu, bahkan bernama
dengan nama-nama mereka, serta tidak ada lagi keislaman yang tersisa kecuali
hanya nama dan keturunan, kemudian kebodohan yang kian merata, tergeraklah hati
Muhammad Ilyas. Pergilah ia ke Syaikhnya dan Syaikh tarekatnya, seperti Rasyid
Ahmad Al-Kanhuhi dan Asyraf Ali At-Tahanawi untuk membicarakan permasalahan
ini. Dan ia pun akhirnya mendirikan gerakan tabligh di India, atas perintah dan
arahan dari para syaikhnya tersebut.” (Nazhrah 'Abirah I’tibariyyah Haulal
Jama'ah At-Tablighiyyah, hal. 7-8, dinukil dari kitab Jama'atut Tabligh
Aqa’iduha Wa Ta’rifuha, karya Sayyid Thaliburrahman, hal. 19)
Merupakan suatu hal yang ma’ruf
di kalangan tablighiyyin (para pengikut jamah tabligh, red) bahwasanya Muhammad
Ilyas mendapatkan tugas dakwah tabligh ini setelah kepergiannya ke (Jama’atut
Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal.makam Rasulullah 3).
Markas Jamaah Tabligh
Markas besar mereka berada di
Delhi, tepatnya di daerah Nizhamuddin. Markas kedua berada di Raywind, sebuah
desa di kota Lahore (Pakistan). Markas ketiga berada di kota Dakka
(Bangladesh). Yang menarik, pada markas-markas mereka yang berada di daratan
India itu, terdapat hizb (rajah) yang berisikan Surat Al-Falaq dan An-Naas,
nama Allah yang agung, dan nomor 2-4-6-8 berulang 16 kali dalam bentuk segi
empat, yang dikelilingi beberapa kode yang tidak dimengerti. (Jama’atut Tabligh
Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 14)
Yang lebih mengenaskan, mereka
mempunyai sebuah masjid di kota Delhi yang dijadikan markas oleh mereka, di
mana di belakangnya terdapat empat buah kuburan. Dan ini menyerupai orang-orang
Yahudi dan Nashrani, di mana mereka menjadikan kuburan para nabi dan
orang-orang shalih dari kalangan mereka sebagai masjid. Padahal Rasulullah
melaknat orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, bahkan mengkhabarkan
bahwasanya mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi . (Lihat Al-Qaulul
Baligh Fit Tahdziri Min Jama’atit Tabligh,Allah karya Asy-Syaikh Hamud
At-Tuwaijiri, hal. 12)
Sebagaimana kita pahami bahwa
akidah asya’irah dan maturudiyah, fanatik bermazhab, dan mengamalkan tarekat
sufi tidak dicontohkan oleh Nabi saw dan atsar para sahabatnya. Jamaah Tabligh
didirikan oleh seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyyah
dan bermadzhab fiqih Hanafi. Ia bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma'il
Al-Hanafi Ad-Diyubandi Al-Jisyti Al-Kandahlawi kemudian Ad-Dihlawi.
Perkara diatas menunjukkan
bahwa pemahaman dan amalan pendiri jamaah tabligh bertentangan dengan sunnah
nabi saw dan para sahabatnya. Untuk pembahasan ini, alangkah baiknya kalau para
pembaca dapat mengenal terlebih dahulu tentang kesalahan-kesalahan akidah
asya’irah, bahayanya fanatik mazhab dan ajaran tarekat sufi. Karena 3 perkara
tersebut sangat membudaya dan merupakan amalan di kalangan jamaah tabligh,
khususnya para senior dan para masyaikh di jamaah tesebut.
Diantara ciri khusus akidah
asya’irah adalah mereka mentakwilkan makna sifat-sifat Allah, seperti mereka
mengingkari bahwa Allah itu bersemayam di langit. Padahal pernyataan bahwa
Allah bersemayam di langit adalah firman Allah sendiri di surah at Taha:5,
serta merujuk pada hadis Mu’awiyah ibnu hakam as-sulami yang diriwayatkan
muslim, dimana seorang budak perempuan mengatakan bahwa Allah dilangit, saat
Nabi saw bertanya kepadanya. Ini juga sebagaimana apa yang di pahami oleh para
sahabatnya seperti Abdullah Bin Abbas saat menafsirkan makna ‘istawa’ pada
surah al-‘Araf: 54 dengan makna ’alaa alaihi war tafa’a (Allah berada diatas
‘Arsy dan tinggi, bukhari pada kitab tauhid). Bukankah kita wajib mengikuti
pemahaman Nabi dan para sahabatnya dalam memahami Quran? Siapa yang tidak
mengikuti jalan para sahabat Nabi saw dalam berislam, maka ia akan sesat.
Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
Dan sesiapa Yang menentang
(ajaran) Rasulullah sesudah terang nyata kepadanya kebenaran pertunjuk (yang
dibawanya), dan ia pula mengikut jalan Yang lain dari jalan orang-orang Yang
beriman(jalan para sahabat), Kami akan memberikannya Kuasa untuk melakukan
(kesesatan) Yang dipilihnya, dan (pada hari akhirat kelak) Kami akan memasukkannya
ke Dalam neraka jahanam; dan neraka jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat
kembali.an-Nisa:115.
Dan banyak lagi kemungkaran
dari ajaran asya’irah yang bertentangan dengan sunah Nabi saw, pembahasan
selengkapnya akan kita sampaikan pada kesempatan lain insya Allah.
Begitu juga unsur fanatik dalam
bermazhab. Pada hakikatnya mereka mengajak manusia untuk beribadah mengikut
mazhab. Mereka tidak memfokuskan untuk mengamalkan hadis-hadis shahih dalam
ibadah, walaupun sudah jelas kelemahannya tetap saja berpegang pada mazhab.Bukankah
kita diperintahan untuk mengikuti Nabi saw dalam ibadah?
Mereka membenarkan ajaran
tarekat sufi, seperti naqsabandi, sadzili dll. Padahal amalan-amalan tarekat
sufi seperti ini bertentangan dengan amalan Nabi saw, seperti adanya bai’at
kepada syaikh guru dalam ibadah, membayangkan wajah guru dalam beribadah,
berdzikir dengan lafaz ‘Allah’ saja dll. Sebaliknya ajaran tarekat sufi ini
banyak diamalkan di jamaah tabligh, bahkan ia juga jadi amalan diantara para
masyaikh-masyaikh tabligh.
6 Sifat/ Perkara yang
berunsurkan syubuhat
Jamaah Tabligh mempunyai suatu
asas dan landasan yang sangat teguh mereka pegang, bahkan cenderung berlebihan.
Asas dan landasan ini mereka sebut dengan al-ushulus sittah (enam landasan
pokok) atau ash-shifatus sittah (sifat yang enam), dengan rincian sebagai
berikut:
Sifat Pertama: Merealisasikan
Kalimat Thayyibah Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah
Mereka menafsirkan makna Laa
Ilaha Illallah dengan: “mengeluarkan keyakinan yang rusak tentang sesuatu dari
hati kita dan memasukkan keyakinan yang benar tentang dzat Allah, bahwasanya
Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Maha Mendatangkan Mudharat dan
Manfaat, Maha Memuliakan dan Menghinakan, Maha Menghidupkan dan Mematikan”.
Kebanyakan pembicaraan mereka tentang tauhid, hanya berkisar pada tauhid
rububiyyah semata (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 4).
Padahal makna Laa Ilaha
Illallah sebagaimana diterangkan para ulama adalah: “Tiada sesembahan yang
berhak diibadahi melainkan Allah.” (Lihat Fathul Majid, karya Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, hal. 52-55). Adapun makna merealisasikannya
adalah merealisasikan tiga jenis tauhid; al-uluhiyyah, ar-rububiyyah, dan
al-asma wash shifat (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim
Ibnu Sulthan Al-'Adnani, hal. 10). Dan juga sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Hasan: “Merealisasikan tauhid artinya membersihkan dan
memurnikan tauhid (dengan tiga jenisnya, pen) dari kesyirikan, bid’ah, dan
kemaksiatan.” (Fathul Majid, hal. 75)
Oleh karena itu, Asy-Syaikh
Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan bahwa di antara 'keistimewaan'
Jamaah Tabligh dan para pemukanya adalah apa yang sering dikenal dari mereka
bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berikrar dengan tauhid. Namun tauhid
mereka tidak lebih dari tauhidnya kaum musyrikin Quraisy Makkah, di mana
perkataan mereka dalam hal tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyyah saja,
serta kental dengan warna-warna tashawwuf dan filsafatnya. Adapun tauhid
uluhiyyah dan ibadah, mereka sangat kosong dari itu. Bahkan dalam hal ini,
mereka termasuk golongan orang-orang musyrik. Sedangkan tauhid asma wash
shifat, mereka berada dalam lingkaran Asya’irah serta Maturidiyyah, dan kepada
Maturidiyyah mereka lebih dekat”. (Nazhrah ‘Abirah I’tibariyyah Haulal Jamaah
At-Tablighiyyah, hal. 46).
Sifat Kedua: Shalat dengan
Penuh Kekhusyukan dan Rendah Diri
Asy-Syaikh Hasan Janahi
berkata: “Demikianlah perhatian mereka kepada shalat dan kekhusyukannya. Akan
tetapi, di sisi lain mereka sangat buta tentang rukun-rukun shalat,
kewajiban-kewajibannya, sunnah-sunnahnya, hukum sujud sahwi, dan perkara fiqih
lainnya yang berhubungan dengan shalat dan thaharah. Seorang tablighi (pengikut
Jamaah Tabligh, red) tidaklah mengetahui hal-hal tersebut kecuali hanya
segelintir dari mereka.” (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal.
5- 6).
Sifat ketiga: Keilmuan yang
Ditopang dengan Dzikir
Mereka membagi ilmu menjadi dua
bagian. Yakni ilmu masail dan ilmu fadhail. Ilmu masail, menurut mereka, adalah
ilmu yang dipelajari di negeri masing-masing. Sedangkan ilmu fadhail adalah
ilmu yang dipelajari pada khuruj (lihat penjelasan di bawah, red) dan pada
majlis-majlis tabligh. Jadi, yang mereka maksudkan dengan ilmu adalah sebagian
dari fadhail amal (amalan-amalan utama, pen) serta dasar-dasar pedoman Jamaah
(secara umum), seperti sifat yang enam dan yang sejenisnya, dan hampir-hampir
tidak ada lagi selain itu.
Orang-orang yang bergaul dengan
mereka tidak bisa memungkiri tentang keengganan mereka untuk menimba ilmu agama
dari para ulama, serta tentang minimnya mereka dari buku-buku pengetahuan agama
Islam. Bahkan mereka berusaha untuk menghalangi orang-orang yang cinta akan
ilmu, dan berusaha menjauhkan mereka dari buku-buku agama dan para ulamanya.
(Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 6 dengan ringkas).
Sifat Keempat: Menghormati
Setiap Muslim
Sesungguhnya Jamaah Tabligh
tidak mempunyai batasan-batasan tertentu dalam merealisasikan sifat keempat
ini, khususnya dalam masalah al-wala (kecintaan) dan al-bara (kebencian).
Demikian pula perilaku mereka yang bertentangan dengan kandungan sifat keempat
ini di mana mereka memusuhi orang-orang yang menasehati mereka atau yang
berpisah dari mereka dikarenakan beda pemahaman, walaupun orang tersebut 'alim
rabbani. Memang, hal ini tidak terjadi pada semua tablighiyyin, tapi inilah
yang disorot oleh kebanyakan orang tentang mereka. (Jama’atut Tabligh Mafahim
Yajibu An Tushahhah, hal. 8)
Sifat Kelima: Memperbaiki Niat
Tidak diragukan lagi bahwasanya
memperbaiki niat termasuk pokok agama dan keikhlasan adalah porosnya. Akan
tetapi semuanya membutuhkan ilmu. Dikarenakan Jamaah Tabligh adalah orang-orang
yang minim ilmu agama, maka banyak pula kesalahan mereka dalam merealisasikan
sifat kelima ini. Oleh karenanya engkau dapati mereka biasa shalat di
masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu
An Tushahhah, hal. 9)
Sifat Keenam: Dakwah dan Khuruj
di Jalan Allah subhanahu wata'ala
Cara merealisasikannya adalah
dengan menempuh khuruj (keluar untuk berdakwah, pen) bersama Jamaah Tabligh,
empat bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada tiap tahun, tiga hari setiap
bulan, atau dua kali berkeliling pada tiap minggu. Yang pertama dengan menetap
pada suatu daerah dan yang kedua dengan cara berpindah-pindah dari suatu daerah
ke daerah yang lain. Hadir pada dua majelis ta’lim setiap hari, majelis ta’lim
pertama diadakan di masjid sedangkan yang kedua diadakan di rumah.
Meluangkan waktu 2,5 jam setiap
hari untuk menjenguk orang sakit, mengunjungi para sesepuh dan bersilaturahmi,
membaca satu juz Al Qur’an setiap hari, memelihara dzikir-dzikir pagi dan sore,
membantu para jamaah yang khuruj, serta i’tikaf pada setiap malam Jum’at di
markas. Dan sebelum melakukan khuruj, mereka selalu diberi hadiah-hadiah berupa
konsep berdakwah (ala mereka, pen) yang disampaikan oleh salah seorang anggota
jamaah yang berpengalaman dalam hal khuruj. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu
An Tushahhah, hal. 9)
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan berkata: “Khuruj di jalan Allah adalah khuruj untuk berperang.
Adapun apa yang sekarang ini mereka (Jamaah Tabligh, pen) sebut dengan khuruj
maka ini bid’ah. Belum pernah ada (contoh) dari salaf tentang keluarnya
seseorang untuk berdakwah di jalan Allah yang harus dibatasi dengan hari-hari
tertentu. Bahkan hendaknya berdakwah sesuai dengan kemampuannya tanpa dibatasi
dengan jamaah tertentu, atau dibatasi 40 hari, atau lebih sedikit atau lebih
banyak.” (Aqwal Ulama As-Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 7)
Asy-Syaikh Abdurrazzaq 'Afifi
berkata: “Khuruj mereka ini bukanlah di jalan Allah, tetapi di jalan Muhammad
Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi
berdakwah kepada (pemahaman) Muhammad Ilyas, syaikh mereka yang ada di
Banglades (maksudnya India, pen). (Aqwal Ulama As Sunnah fi Jama’atit Tabligh,
hal. 6)
Aqidah Jamaah Tabligh dan Para
Tokohnya
Jamaah Tabligh dan para
tokohnya, merupakan orang-orang yang sangat rancu dalam hal aqidah. Demikian
pula kitab referensi utama mereka Tablighi Nishab atau Fadhail A’mal karya
Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi, merupakan kitab yang penuh dengan kesyirikan,
bid’ah, dan khurafat. Di antara sekian banyak kesesatan mereka dalam masalah
aqidah adalah:
1. Keyakinan tentang wihdatul
wujud (bahwa Allah menyatu dengan alam ini). (Lihat kitab Tablighi Nishab,
2/407, bab Fadhail Shadaqat, cet. Idarah Nasyriyat Islam Urdu Bazar, Lahore).
2. Sikap berlebihan terhadap
orang-orang shalih dan keyakinan bahwa mereka mengetahui ilmu ghaib. (Lihat
Fadhail A’mal, bab Fadhail Dzikir, hal. 468-469, dan hal. 540-541, cet. Kutub
Khanat Faidhi, Lahore).
3. Tawassul kepada Nabi
(setelah wafatnya) dan juga kepada selainnya, serta berlebihannya mereka dalam
hal ini. (Lihat Fadhail A’mal, bab Shalat, hal. 345, dan juga bab Fadhail
Dzikir, hal. 481-482, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
4. Keyakinan bahwa para syaikh
sufi dapat menganugerahkan berkah dan ilmu laduni (lihat Fadhail A’mal, bab
Fadhail Qur’an, hal. 202- 203, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
5. Keyakinan bahwa seseorang
bisa mempunyai ilmu kasyaf, yakni bisa menyingkap segala sesuatu dari perkara
ghaib atau batin. (Lihat Fadhail A’mal, bab Dzikir, hal. 540- 541, cet. Kutub
Khanat Faidhi, Lahore).
6. Hidayah dan keselamatan hanya
bisa diraih dengan mengikuti tarekat Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi (lihat Shaqalatil
Qulub, hal. 190). Oleh karena itu, Muhammad Ilyas sang pendiri Jamaah Tabligh
telah membai’atnya di atas tarekat Jisytiyyah pada tahun 1314 H, bahkan
terkadang ia bangun malam semata-mata untuk melihat wajah syaikhnya tersebut.
(Kitab Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 143, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim
Yajibu An Tushahhah, hal. 2).
7. Saling berbai’at terhadap
pimpinan mereka di atas empat tarekat sufi: Jisytiyyah, Naqsyabandiyyah,
Qadiriyyah, dan Sahruwardiyyah. (Ad-Da'wah fi Jaziratil 'Arab, karya Asy-Syaikh
Sa’ad Al-Hushain, hal. 9-10, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An
Tushahhah, hal. 12).
8. Keyakinan tentang keluarnya
tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari kubur beliau untuk berjabat
tangan dengan Asy-Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i. (Fadhail A’mal, bab Fadhail
Ash-Shalati ‘alan Nabi, hal. 19, cet. Idarah Isya’at Diyanat Anarkli, Lahore).
9. Kebenaran suatu kaidah,
bahwasanya segala sesuatu yang menyebabkan permusuhan, perpecahan, atau
perselisihan -walaupun ia benar- maka harus dibuang sejauh-jauhnya dari manhaj
Jamaah. (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 10).
10. Keharusan untuk bertaqlid
(lihat Dzikir Wa I’tikaf Key Ahmiyat, karya Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi,
hal. 94, dinukil dari Jama'atut Tabligh ‘Aqaiduha wa Ta’rifuha, hal. 70).
11. Banyaknya cerita-cerita
khurafat dan hadits-hadits lemah/ palsu di dalam kitab Fadhail A’mal mereka, di
antaranya apa yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Hasan Janahi dalam kitabnya
Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 46-47 dan hal. 50-52.
Bahkan cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits palsu inilah yang mereka
jadikan sebagai bahan utama untuk berdakwah. Wallahul Musta’an.
Fatwa Para Ulama Tentang Jamaah
Tabligh
1. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul
Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Siapa saja yang berdakwah di jalan Allah
bisa disebut “muballigh” artinya: (Sampaikan apa yang datang dariku
(Rasulullah), walaupun hanya satu ayat), akan tetapi Jamaah Tabligh India yang
ma’ruf dewasa ini mempunyai sekian banyak khurafat, bid’ah dan kesyirikan. Maka
dari itu, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi seorang yang berilmu,
yang keluar (khuruj) bersama mereka dalam rangka mengingkari (kebatilan mereka)
dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Adapun khuruj, semata ikut dengan mereka
maka tidak boleh”.
2. Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin
Hadi Al-Madkhali berkata: “Semoga Allah merahmati Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz
(atas pengecualian beliau tentang bolehnya khuruj bersama Jamaah Tabligh untuk
mengingkari kebatilan mereka dan mengajarkan ilmu kepada mereka, pen), karena
jika mereka mau menerima nasehat dan bimbingan dari ahlul ilmi maka tidak akan
ada rasa keberatan untuk khuruj bersama mereka. Namun kenyataannya, mereka
tidak mau menerima nasehat dan tidak mau rujuk dari kebatilan mereka,
dikarenakan kuatnya fanatisme mereka dan kuatnya mereka dalam mengikuti hawa
nafsu. Jika mereka benar-benar menerima nasehat dari ulama, niscaya mereka
telah tinggalkan manhaj mereka yang batil itu dan akan menempuh jalan ahlut
tauhid dan ahlus sunnah. Nah, jika demikian permasalahannya, maka tidak boleh
keluar (khuruj) bersama mereka sebagaimana manhaj as-salafush shalih yang
berdiri di atas Al Qur’an dan As Sunnah dalam hal tahdzir (peringatan) terhadap
ahlul bid’ah dan peringatan untuk tidak bergaul serta duduk bersama mereka.
Yang demikian itu (tidak bolehnya khuruj bersama mereka secara mutlak, pen),
dikarenakan termasuk memperbanyak jumlah mereka dan membantu mereka dalam
menyebarkan kesesatan. Ini termasuk perbuatan penipuan terhadap Islam dan kaum
muslimin, serta sebagai bentuk partisipasi bersama mereka dalam hal dosa dan
kekejian. Terlebih lagi mereka saling berbai’at di atas empat tarekat sufi yang
padanya terdapat keyakinan hulul, wihdatul wujud, kesyirikan dan kebid’ahan”.
3. Asy-Syaikh Al-Allamah
Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah berkata: “Bahwasanya organisasi
ini (Jamaah Tabligh, pen) tidak ada kebaikan padanya. Dan sungguh ia sebagai
organisasi bid’ah dan sesat. Dengan membaca buku-buku mereka, maka benar-benar
kami dapati kesesatan, bid’ah, ajakan kepada peribadatan terhadap kubur-kubur
dan kesyirikan, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Oleh karena itu -insya
Allah- kami akan membantah dan membongkar kesesatan dan kebatilannya”.
4. Asy-Syaikh Al-Muhaddits
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Jamaah Tabligh tidaklah
berdiri di atas manhaj Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam serta pemahaman as-salafus shalih.” Beliau juga berkata: “Dakwah
Jamaah Tabligh adalah dakwah sufi modern yang semata-mata berorientasi kepada
akhlak. Adapun pembenahan terhadap aqidah masyarakat, maka sedikit pun tidak
mereka lakukan, karena -menurut mereka- bisa menyebabkan perpecahan”. Beliau
juga berkata: “Maka Jamaah Tabligh tidaklah mempunyai prinsip keilmuan, yang
mana mereka adalah orang-orang yang selalu berubah-ubah dengan perubahan yang
luar biasa, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada”.
5. Asy-Syaikh Al-Allamah
Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Kenyataannya mereka adalah ahlul bid’ah yang
menyimpang dan orang-orang tarekat Qadiriyyah dan yang lainnya. Khuruj mereka
bukanlah di jalan Allah, akan tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah
berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi kepada Muhammad Ilyas,
syaikh mereka di Bangladesh (maksudnya India, pen)”.
Demikianlah selayang pandang
tentang hakikat Jamaah Tabligh, semoga sebagai nasehat dan peringatan bagi
pencari kebenaran. Wallahul Muwaffiq wal Hadi Ila Aqwamith Thariq.