Selasa, 14 Ogos 2012

TEKNIK WASILAH TERAGUNG???

MENOLAK ANGGAPAN “SYIRIKLAH ORANG BEROBAT KE MURSYID”, DAN JARAK ANTARA LILLAH DENGAN ILAIHI ROOJI’UUN Disajikan di hadapan peserta Seminar Internasional I dengan tema: “MENGOBATI PENYAKIT ALAM DAN MANUSIA DENGAN METODE METAFISIK DAN TASAWWUF ISLAM” tanggal 11 September 2005 di UNIVERSITAS HALUOLEO Kendari – Sulawesi Tenggara oleh : H.A . TJIPTOHARDJONO Abstract There are some people who don’t know the essence of getting back health because of some disease by someone through asking help from a so-called “Wali Mursyid”. They quickly accuse him having done syirik (denying the Oneness and Almighty of Allah). Actually they don’t know that the most effective and efficient way of being free from any kind of disease is going back to The Holy Qur’an and Hadits (pictures of Mohammed’s, p.b.u.h, every-day life). Various Saying of Allah in Al Qur’an, and many of our Prophet’s preaches show that every moslem should have a firm belief in Allah’s Almighty in helping everybody to get back his health from any kind of disease. Meanwhile the writer wants to acknowledge all of the seminar participants, that the distance between the moment someone is born, becomes sick, wealthy, etc. until he dies, becomes healthy, poor again, etc. can be measured. Through the beating of his heart and pulses of his veins we can measure such a distance, i.e. through the length of each pulse-wave. The reader will be informed all of what the writer have stated through following this article entitled: “DENYING THE ASSUMPTION: “SOMEONE WHO WANTS TO GET BACK HIS HEALTH BECAUSE OF SOME DISEASE THROUGH ASKING HELP FROM A SO-CALLED WALI MURSYID, HAS DONE SYIRIK”. The writer hopes for all participants’ feeling of satisfaction. Apakah yang dimaksud dengan “Penyembuhan dengan Metode Tasawwuf Islam”? Penyembuhan penyakit dengan motode tasawwuf Islam adalah penyembuhan yang dilakukan sesuai dengan ajaran kaum sufi yang dipercaya khalayak ramai memiliki kemampuan menyembuhkan berbagai penyakit. Karena seorang sufi berhati-nurani yang suci / bersih dari segala noda dosa nafsu maksiat, dan mampu melaksanakan pengobatan penyakit, maka pelaksanaan pengobatan itu tentu berdasarkan penymbuhan nabawi, yaitu penyembuhan menurut wahyu Nabi BesarMuhammad SAW yang tak lain melainkan berdasarkan Al Qur’an dan As-Sunnah. Dasar pijak penyembuhan itu antara lain: Sabda-sabda Rasulullah SAW yang dapat diartikan: (a) Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, melainkan juga menurunkan obatnya”. (b) “Allahlah yang dapat mengobati. Yang lebih tepat, engkau (yang mengaku dapat mengobati) adalah rafiq (pendamping / perantara), sedangkan yang mengobati adalah Yang Menciptakan (penyakit itu).” (c) “Berobat wahai hamba-hamba Allah, karena Allah Ta’ala tidak menciptakan penyakit, melainkan juga menciptakan obatnya, kecuali satu penyakit saja, yaitu penyakit tua.” (d) Setiap penyakit ada obatnya. Jika ada obat suatu penyakit, maka orang yang sakit akan sembuh hanya dengan izin Allah Azza wa Jalla.” (e) Obat juga termasuk takdir. Ia bermanfaat bagi siapa pun yang dikehendakiNYA dengan apa pun yang dikehendakiNYA.” Secara eksplisit, tidak ada di antara firman-firman Allah SWT yang secara jelas menyatakan: “Akulah yang kuasa menurunkan penyakit, dan hanya Akulah yang kuasa menyembuhkan penyakit itu”. Namun demikian, dalam firman Allah yang dapat diartikan: *(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, berucap: “Sesungguhnya (segala sesuatu) berasal dari Allah, dan sesungguhnya kepada Allahlah (segala sesuatu) kembali” (Al Baqarah, 156) tersimpul sabda Rasulullah di atas, karena bukankah musibah itu mempunyai beribu ragam ujud, antara lain sakit?. Dan bukankah kalimatullah: “Inna lillaahi wa inna Ilaihi roji’uun” mengandung makna bahwa sembuhnya penyakit hanya karena izin Allah SWT? Selanjutnya, marilah kita kaji lebih mendalam pengobatan dengan metode tashawwuf Islam. Seperti yang penulis kemukakan di atas, pengobatan dengan metode tashawwuf Islam bersifat nabawi, yaitu menurut wahyu Nabi Besar Muhammad SAW. Pengobatan itu sendiri terdiri dari dwitunggal lahiriyah – ruhaniah. Pengobatan lahiriah sebagai sarana, dapat berujud urutan, pijatan dan berujud jamu untuk diminum yang kesemuanya diiringi sarana rohaniah yang berujud doa permohonan pertolongan dan ridho Allah SWT. Kesembuhan penyakit dapat dipercepat apabila dibantu oleh penderita sendiri, yaitu dengan modal iman, keyakinan, sabar, tawakkal, shalat, dzikrullah dan do’a. Iman adalah modal vital bagi kehidupan seorang muslim, karena dengan iman, seorang muslim tidak mudah tergiur oleh bujuk rayu syaithon dan tidak mempan akan berbagai macam sihir. Keyakinan bahwa shufi yang mengobati adalah benar-benar mendapat bimbingan dan tuntunan Allah SWT dan merupakan perpanjangan Tangan Penyembuh Allah Ar Rahman. Sikap sabar mencakup hati yang ikhlas menerima musibah sakit, lebih-lebih jika si sakit mampu merasakan sakit sebagai anugerah dan bukan sebagai siksaan. Sikap tawakkal mengandung makna berserah diri kepada kehendak Yang Mahakuasa. Sholat merupakan manifestasi ati’ullah, dan kesadaran akan ketidak-berartian dan ketidak-berdayaan diri terhadap Kemaha-akbaran dan Kemahaperkasaan Al Khalik. Di samping shalat fardhu, penyembuhan dapat pula dipercepat dengan melaksanakan shalatu’llail secara istiqomah. Dzikrullah adalah melafalkan asma’ul husna secara berulang-ulang berupa bisikan dan lebih utama lagi apabila dzikrullah dilakukan oleh qolbunya. Menurut pendapat penulis dzikrullah tidak hanya melafalkan asma’ul husna secara berulang-ulang, tetapi juga melafalkan istighfar, karena ada kemungkinan bahwa musibah sakit yang diterima seseorang merupakan akibat perbuatan dosa tertentu. Adapun lafal dzikrullah yang banyak dianjurkan adalah tahlil: “Laa ilaaha illallah” dan tasbih: “Subhanallahi wa’lhamdulillahi wa laa ilaha illallahu Allahu Akbar”. Do’a mengandung makna “memohon”, yaitu memohon kepada Allah Ar Rahmaan Ar Rahiim. Permohonan orang yang sakit adalah permohonan akan kesembuhan dan kebebasan dari derita sakit itu. Yang dilafalkan dalam berdoa adalah ayat-ayat Al Qur’an yang bernuansa permohonan. Di dalam buku Pedoman Dzikir dan Do’a karangan Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy terdapat do’a-do’a untuk orang sakit yang pernah diamalkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW ketika menjumpai orang sakit. Mengingat adanya kemungkinan peserta seminar mengamalkan do’a-do’a itu, maka penulis menuliskannya bahasa Arab, transliterasinya, dan artinya secara lengkap sbb Allahuma Rabbannaas adzhibilba’sa, isyfi Antasysyafii, la syifaa’ailla syifaa’uka syifaa’an laa yughaadiru saqaman.. Yaa Allah, Tuhan manusia, hilangkanlah penyakit, sembuhkanlah, Engkaulah Penyembuh. Tak ada penawar (sakit) kecuali penawarMu, penawar yang menghabiskan sakit dan penyakit Imsakhilba’sa rabbannaas. Biyadika sysyifaa’u Laa ka syifalahuu illa Anta. Hilangkanlah penyakit, wahai Tuhan manusia. Di tanganMU-lah kesembuhan. Tak ada yang (mampu) menghilangkan penyakit, kecuali Engkau sendiri. Allahumma Rabbannaasi madzibalba’si, isyafi Antasysyafii. Laa syafii illa Anta syifaa’an laa yughaadiru saqamaan. Yaa Allah, Tuhan manusia yang menghilangkan penyakit, sembuhkanlah. Engkaulah Penyembuh. Tak ada yang menyembuhkan kecuali Engkau. Sembuh yang tidak meninggalkan sakit lagi. Allahumma asyfi ...... (baca 3 x) Yaa Allah, sembuhkanlah … Do’a-do’a mengobati orang sakit: As’alullahal ‘adziim, Rabbal ‘arsyil ‘adhiiman yasfiyaka Saya mohon kepada Allah yang Mahabesar, Tuhan Yang Mempunyai Arasy yang besar, akan menyembuhkan engkau. Bismillaahi arqiika min kullissuu’i.yu’adziika min syarrikulli nafsin au’aini khaasidin Allahu yasyfiika bismillahi arqiika. Dengan nama Allah, saya jampikan engkau dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari kejahatan segala jiwa atau mata pendengki, Allah menyembuhkan engkau. Dengan Asma Allah saya menjampikan engkau. Bismillaahirrahmaanirrahiim. U’iidzukabillaahil akhhadishshomadilladzii lam yaalid wa lam yuulad wa lam yakullahuu kufuwan akhadammin syarrimaa tajiid. Dengan nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapengasih. Saya lindungkan engkau dengan Allah Yang Esa, Yang dituju oleh segala makhluk, Yang tiada beranak dan tiada diperanakkan dan tiada seorang pun menyamaiNYA – dari kejahatan yang engkau derita ini. Dari cuplikan do’a dan jampi qur’ani di atas dapat disimpulkan bahwa Allah Yang Mahatunggallah satu-satunya Dzat Mahatinggi yang memiliki Kuasa menyembuhkan segala macam penyakit. Itulah yang diamalkan para shufi dalam menolong orang sakit. Dzikir dan do’a tersebut diatas merupakan obat rohaniah. Akan diperlukannya obat jasmaniah, para shufi yang melakukan penyembuhan Nabawi, mengamalkan apa yang dilakukan oleh Nabi Besar Muhammad SAW. Pengobatan jasmaniah yang konon pernah diamalkan Nabi Muhammad SAW antara lain adalah: (1) Hijamah, (2) Habbatus-sauda’, (3) Madu, (4) Talbinah, (5) Itsmid, (6) Kam’ah, (7) Udul-hindy, (8) Air kencing onta & air susunya, (9) Wahyu Ilahi. Ad (1) Hijamah adalah pengobatan sedot darah menggunakan kop gelas. Ad (2) Nama lain yang mirip dengan habbatus-Sauda’ adalah al karawiyah as-sauda’, Al kamoun al aswad; asysyuniz; black cumin; kerosene; coal oil; carazna. Ad (3) Jelas. Ad (4) Tallinah (?) Ad (5) Nama latinnya: truffle, sejenis cendawan / jamur. Al Kam’ah berada di bawah tanah permukaan tanah tanpa harus ditanam, tidak memiliki daun, batang, ataupun cabang. Banyak tumbuh di jazirah Arab, Syam, Mesir, sebagian daratan Eropa, terutama Itali, dan Perancis. Ad (6) Disebut juga Qusthul-Bahry, adalah tumbuhan dari keluarga ginger (jahe), yang sudah kita kenal. Semua bahan penyembuh di atas digunakan berkhasiat berdasarkan sabda Nabi Besar SAW dan / atau firman Allah SWT. Seperti khasiat madu, misalnya, terkandung dalam ayat 69, surat An Nahl, yang dapat diartikan: “Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (ke-Mahakuasaan Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan.” Rasulullah SAW pernah bersabda antara lain: “Kalaulah dalam kesulitan di antara obat-obat kalian ada kesembuhan, maka hal itu ada pada minum madu atau sayatan alat hijamah atau sundutan dengan api, tapi aku tidak suka sundutan.”(Shahih al Bukhary, 5702). Kiranya perlu diingat bahwa para shufi (ahli tashawwuf) yang mengamalkan pengobatan Nabawi tidak pernah mengatakan bahwa kesembuhan para penderita berbagai penyakit yang ditangani beliau-beliau berkat keterampilan beliau, melainkan karena Tangan Penyembuh Allah SWT. Shufi berderajat paling tinggi adalah MURSYID atau WALI QUTUB, yang jelas-jelas merupakan pewaris ilmu Nabi Besar Muhammad SAW, sehingga menjadi kekasih Allah SWT, dan menjadi kepanjangan Tangan Penyembuh segala penyakit manusia, baik jasmani maupun rohani, bahkan penyakit alam semesta. Subhanallah! Para penderita sakit yang datang kepada beliau dengan harapan sembuh dari bermacam penderitaan, tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka bahwa Wali Qutub itulah penyembuh sebenarnya, karena mereka sadar bahwa berpikiran demikian sama saja dengan menduakan Tuhan, dan mengingkari sumpah sakral mereka: “Asyhadu an laa ilaha illallah”, sehingga mereka bukanlah golongan musyrikin. Subhanallaah! Hanya orang-orang yang berucap: “Saya sembuh karena dukun si Fulan / si Fulanah, mantri Anu, dokter Anu, dsb.” atau “Karena saya telah berziarah ke makam Embah Fulan / Fulanah, maka penderitaan saya terkikis habis”, mereka itulah golongan musyrikin. Na’udzubillahi min dzalik! Jadi, dapat penulis simpulkan bahwa memohon penyembuhan kepada MURSYID / Wali Qutub atas dasar iman akan ke-Mahakuasa-an Allah menyalurkan Kuasa PenyembuhanNYA melalui Wali Qutub BUKANLAH berlaku syirik. Jarak antara Lillaah dan Ilaihi Roji’uun. Secara umum dianggap bahwa kalimat: “Inna lillahi wa inna Ilaihi Rooji’uun” hanya ditujukan kepada orang yang meninggal dunia. Pada hal kalimat yang tersimpul dalam ayat 156 surat Al Baqarah itu merupakan ucapan seseorang yang tertimpa musibah, untuk menunjukkan bahwa ia termasuk orang yang sabar dan tawakkal, sedang kita tahu bahwa bentuk musibah adalah bermacam ragam, dan tidak melulu berupa kematian. Konotasi derita kalimat itu pun sebenarnya tidak hanya pas untuk kematian, melainkan juga pada kecelakaan, sakit, kesulitan hidup, bahkan kekayaan sekalipun! Mengapa kekayaan dapat dianggap sebagai musibah? Menurut pendapat penulis kekayaan dapat merupakan musibah, jika dengan datangnya kekayaan, seseorang bisa saja berubah menjadi congkak, sombong takabur, terkikis rasa cinta sesamanya, bahkan menjadi bencana jika dengan kepemilikan harta melimpah itu menjadi penutup imannya kepada Allah SWT., lebih-lebih lagi, jika harta yang melimpah itu diperolehnya dengan melalui laku syirik, dengan pertolongan syaithon atau seseorang yang menjadi kepanjangan tangan iblis yang merupakan musuh utama manusia. Kepemilikan harta dapat juga merupakan ujian Allah akan iman dan taqwa pemiliknya. Tetap teguhkah, bahkan makin teguhkah orang yang mendapat limpahan harta itu, ataukah akan menjadi berguguranlah iman dan tawakkalnya? Berapa jarak antara saat turunnya musibah / ujian lillaah dengan saat berakhirnya musibah / ujian ilaihi rooji’uun? Biasanya orang mengatakan: “Sakitnya si Fulan / Fulanah cukup lama, lebih kurang setengah tahun” atau “Ia meninggal pada usia 65 tahun” Lama waktu demikian, menurut penulis, dapat ditransformasi ke panjang jarak. Dalam kinematika atau ilmu gerak, antara waktu kecepatan dan jarak pada gerak lurus beraturan, yaitu gerak dengan kecepatan tetap, terdapat suatu relasi yang dirumuskan sebagai st (jarak yang ditempuh sesudah t satuan waktu) = υ (kecepatan) x t (waktu) (jarak = kecepatan dikalikan waktu) ( s = υ x t ). Jarak yang sangat jauh, seperti jarak antara planet, diberi satuan tahun cahaya, yang didasarkan pada kecepatan cahaya sebesar 300.000 km/detik. Jadi, misalnya ada bintang yang berjarak 1 tahun cahaya dari bintang lain, maka jarak kedua bintang itu = 365 x 24 x 60 x 60 x 300.000 km = 9.460.800.000.000 km. Bagaimanakah mengukur jarak antara “lillaah dan ilaihi rooji’uun” dalam satuan panjang, jadi bukan satuan waktu, dapat diukur melalui detak jantung atau denyut nadi. Mengapa? Karena denyut nadi, menurut penulis, dapat diidentikkan dengan pulsa, sedang pulsa adalah identik dengan getaran, jadi identik dengan gelombang. Yang menjadi pertanyaan ialah, apakah denyut nadi yang disebabkan oleh detak jantung, identik dengan pulsa yang disebabkan oleh gelombang atau getaran elektronik, ataukah getaran cahaya? Kita mulai dengan gelombang cahaya. Menurut para ahli, getaran cahaya adalah jenis getaran selaras (harmonis), yang merupakan proyeksi dari gerak melingkar beraturan. Karena getaran cahaya merupakan proyeksi gerak melingkar beraturan, maka getaran cahaya melibatkan apa yang disebut kecepatan sudut gerak melingkar beraturan yang dilambangkan dengan ω (baca “omega”). Antara ω, frekwensi getaran υ (baca “nu”), dan periode T terdapat hubungan: 2π/ω = T = 1/υ. Misalkan simpangan maksimal gelombang sebarang, disebut juga amplitudo, kita lambangkan dengan A, sudut fase dengan φ, dan simpangan gelombang = q, maka pada q, A dan φ terdapat hubungan: q = A cos (ωt + φ), dengan t = 1/T. Dengan substitusi kedalam relasi getaran harmonis di atas kita peroleh relasi: q = A cos (2 πt/T + φ) = A cos (πvt + φ). Dengan melakukan differensiasi (penurunan) simpangan q terhadap t, kita dapatkan kecepatan gelombang getaran harmonis υ, yaitu dq/dt = - Aω sin (ωt + φ). Kecepatan itu tergantung dari besar kecilnya ω, sedang φ sendiri tergantung dari besar ω, karena φ adalah sudut antara jari-jari arah (radius arah) pada saat t dengan sumbu X+. Makin besar ω, makin besar ωt, yang mengakibatkan makin kecilnya φ. υ itu maksimal, jika sin (ωt + φ) maksimal negatif, yaitu -1. Mengingat bahwa kecepatan getaran harmonis cahaya demikian besar, 300.000 km/det., maka kita dapat membayangkan betapa besar frekuensi getaran itu. Kalau penulis tidak salah, denyut nadi manusia yang sehat dan sedang beristirahat adalah 20/menit = 1/3 denyut / detik, yang sangat jauh di bawah frekuensi getaran cahaya. Bagaimana halnya dengan getaran gelombang elektromagnetik? Seperti kita ketahui frekuensi elektromagnetik dinyatakan dengan satuan Hertz. VHF atau Very High Frequence yang sering kita jumpai pada alat-alat elektronik mempunyai arti adanya frekuensi paling tidak 100 juta atau 108 Hertz. Katakan bahwa frekuensi itu terjadi setiap detik, maka frekuensi denyut nadi pun jauh di bawah frekuensi elektro magnetik. Perlu diketahui bahwa sebenarnya denyut nadi bukanlah gelombang atau getaran selaras. Kecuali itu, denyut nadi di pergelangan tangan tidak sama dengan denyut nadi di nadi batang leher samping, dalam hal frekuensinya., Denyut itu terjadi karena kembang kempisnya bilik jantung yang mendorong darah mengalir ke seluruh tubuh. Menurut para ahli, dorongan itu memberikan kecepatan aliran darah sebesar beberapa meter tiap detik. Kecepatan arus darah itu jelas lebih tinggi dari kecepatan gelombang denyut nadi. Pergelangan tangan. Misalkan denyut nadi pergelangan tangan mempunyai panjang gelombang 1 mm, maka cepat rambat gelombang denyut nadi pergelangan tangan adalah 1/3 mm/detik, atau 20 cm/menit, atau 1,2 m/jam, atau 28.8 m/hari. Jadi kalau ada orang yang mendapat cobaan sakit selama sebulan, maka jarak antara lillaah dan ilaihi rooji’uun adalah 864 m. Jarak antara lillaah dan ilaihi rooji’uun bagi orang yang meninggal pada usia 100 tahun adalah 100 x 365 x 28,8 m = 1.051.200 m, atau 1.051,2 km. Itulah analisis penulis tentang konversi jarak antara lillaah dengan ilaihi rooji’uun dari satuan waktu ke satuan panjang. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi peserta. Amiin! DAFTAR PUSTAKA AIMAN BIN ABDUL FATTAH-Asy-Syifa’min Wahyi Khatamil Anbiya’ (Alih Bahasa: Kathur Suhardi: PENGOBATAN DAN PENYEMBUHAN menurut Wahyu Nabi – Dar Ash-Shahifah – Jakarta – 2005. KRONIG r. Prof. Dr. – Leerboek der Natuurkunde – Scheltema & Holkema’s Boekhandel & Uitgevers Maatschappij N.V. Amsterdam – 1951 LABIB MZ, UST. – Rahasia Ilmu Tashawwuuf – Bintang Usaha – Surabaya – 2001 OEMAR BAKRY, H – Tafsir Rahmat – Mutiara Jakarta – 1983.

AYAHANDA ALIF ABDUL MUTALIB Q.S 2012???

"TIDAK KU JADIKAN JIN DAN MANUSIA MELAINKAN UNTUK BERIBADAH KEPADA-KU"